Lesindo.com – Kosong. Demikian ucap Wiji Astuti, perajin batik asal Gunungkidul, Yogyakarta saat dihubungi Tempo, Minggu 14 Juni 2020.
Kosong di sini artinya tak ada permintaan pesanan batik yang mampir di telepon selulernya. Pandemi Covid-19 benar-benar membuat usahanya sepi. “Biasanya sama menerima lima pesan batik tulis setiap bulan,” kata Wiji yang mengenakan kaki palsu dan tangan kirinya menguncup. Wiji lahir dalam kondisi amputi sebelah tangan dan kaki.
Wiji Astuti yang menjadi pemilik usaha batik tulis Serodja Wiji Batik, ini tertarik membuat batik tulis setelah melihat saudaranya memproduksi kerajinan bercorak batik. Ada topeng, piring, dan aneka produk rumah tangga yang dipulas dengan motif batik.
Setamat SMA, Wiji mengikuti pelatihan di Pusat Rehabilitasi Yakkum Sleman, Yogyakarta dari 2010-2011. Di sana ada pelajaran membuat batik tulis. Mulai dari menuangkan malam hingga menjadi selembar kain batik. Setahun ikut pelatihan, Wiji melanjutkan bekerja di hotel untuk mengumpulkan modal.
Setelah memiliki cukup uang untuk membeli peralatan dan bahan, Wiji Astuti memutuskan terjun ke dunia batik. Menurut dia, usaha ini cocok untuk digeluti karena Wiji masih membutuhkan waktu untuk mengurus anaknya.
Wiji membuat motif batik yang berbeda dengan kebanyakan motif yang ada. Dia mengambilnya dari bentuk-bentuk aneka tanaman dan binatang yang ditemukan di sekitar rumah.
Motif batik tulis karya perajin difabel Wiji Astuti yang ditunjukkan dalam Pameran Virtual Peace in Chaos, Juni 2020.
Ada tiga contoh motif batik yang dia tunjukkan dalam pameran virtual 10 perupa difabel bertajuk Peace in Chaos pada 11 Juni 2020. Di sana ada motif Kimpul Wungu, Pupus Lembu, dan Tonggeret. Warna-warna yang dipilihnya beragam dari yang gelap hingga cerah.
Motif batik itu langsung dia lukis di atas selembar kain putih dengan canting yang dipenuhi cairan malam. “Motif batik yang saya bikin limited edition,” kata Wiji. Setiap kain yang dibatik mempunyai corak berbeda.
Dia menolak menduplikasi motif yang sama dalam jumlah banyak. Dan untuk mengantisipasi duplikasi dilakukan orang lain, Wiji tak mau mencetak motif karyanya dalam bentuk stempel atau cap. Hingga kini, Wiji tetap kukuh memilih membuat motif batik tulis, bukan batik cap. “Batik tulis itu batik karya sendiri. Kalau batik cap bisa ditiru orang lain,” kata Wiji.
Perempuan 28 tahun itu sudah membuat 50 motif batik. Sayangnya, dia belum sempat mendokumentasikan motif-motif batik tersebut. Jika awalnya Wiji langsung melukis motif pada kain, sekarang dia memotret motif batik yang sudah jadi kemudian diunggah di akun media sosialnya. Dan sebelum dipindahkan pada kain, Wiji membuat sketsa motif pada selembar kertas.
Wiji Astuti juga menerima pesanan batik dengan motif yang telah dipilih pelanggan. Menurut dia, sebagian besar suka gambar kartun Jepang. Ada pula yang memesan gambar shio untuk menunjukkan identitas diri pemakainya. Lantaran proses pembuatannya dilakukan Wiji seorang, dia meminta para pelanggan untuk memesan batik 1 sampai 2 bulan sebelumnya.
Proses membuat batik tak selalu mulus. Selain pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, musim hujan juga menjadi kendala perajin batik rumahan seperti Wiji. “Hujan bikin kain-kain batik yang dijemur tak kunjung kering,” kata Wiji yang tinggal di sebuah rumah sederhana dengan tempat menjembreng kain yang terbatas.
Satu lagi yang menjadi tantangan Wiji saat membuat kain adalah ketika proses nglorot. Pada tahap ini, dia harus mencelupkan kain batik berulang kali ke dalam sebuah bak berisi air mendidih. “Butuh tenaga ekstra dan tangan kiri dan kanan harus seimbang,” ucapnya.
Wiji biasanya menerima pesanan kain batik melalui telepon atau menjual kain batik lewat teman-teman yang tengah mengikuti pameran di berbagai kota. Sebab itulah pemesan kain batinya datang dari berbagai daerah, di antaranya Semarang, Bandung, Jakarta, Kalimantan, hingga Timor Leste. “Yang dari Yogyakarta malah belum ada,” kata Wiji sambil tertawa.(*)