Konsep 60-70 Sahita Solo Berkarya Dengan Hati

LESINDO.COM – Tidak banyak kelompok dalam panggung hiburan bisa bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama hampIr 19 tahun, salah satunya Sahita group yang terbentuk tahun 2001 ini masih bisa dibilang eksis dan semakin mocer dalam kancah hiburan tanah air. Kelompok yang sudah melalang buana di pelosok negeri dan bahkan pernah mendapat udangan manggung  di luar negeri ini mereka berkarya dengan hati dan sepenuh hati ketika berkerja sebagai team saling mendukung satu sama lain.

Group yang satu ini kalau kita lihat seperti dalam pentas pewayangan ada tokoh punokawan namun punowakan dalam Sahita ini terdiri dari wanita semuanya. Berpenampilan  sebagimana rakyat jelata pada tataran masyarakat kelas bawah dan mereka sebenarnya masih muda-muda tidak seperti dalam tampilan dengan raut muka, dadanan ala nenek-nenek keriput dengan gigi yang sudah usang layaknya nenek Jawa tempo dulu nampak gigi ada sisa-sisa nyusur / nginang.

Dari waktu ke waktu konsep 60-70 tahun tidak pernah berubah (Mac-Lesindo)

Berangkat dari teater kelompok ini lebih leluasa berekspresi dari seni suara seni tari apapun lagu bisa dilantunkan dengan konsep 60-70 tahun dengan berangkat tradisional khas Wong Solo. Dalam naungan Teater Gapit yang dibentuk Mas Bambang Widoyo SP. Sepeninggal Bambang pada tahun 1997. Sahita seperti “kehilangan arah” panggung yang selama ini sudah sangat dekat dengan kehidupan mereka.

Personil Sahita sebenarnya mempunyai basis tari yang kuat. Kecuali Sri Lestari, awak Sahita lainnya adalah para mahasiswa jebolan Jurusan Tari Institusi Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang kampusnya berdekatan dengan Universitas Negeri Sebelas Maret. Sri Setyoasih diantara personil juga pernah menjadi salah satu penari bedhoyo dikeraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, tari bedhoyo adalah tarian sakral karena tari bedhoyo bagi kraton juga bagian dari tarian pusaka. Ada kaidah tari yang masih mereka pegang, misalnya struktur garapan srimpi. Akan tetapi, ada hal-hal teknis tari yang mereka “langgar” dan mungkin tidak sesuai dengan ketentuan baku. Mereka menyebutnya sebagai gaya “ngene wae” atau begini saja-hampir setara dengan semau gue. (mac)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *