LESINDO.COM – Suara itu pernah begitu lantang. Ia menggema dari kampung Jagalan, Solo, menembus tembok kekuasaan, dan kini terus hidup dalam setiap teriakan “lawan!”. Suara itu milik Widji Thukul, penyair rakyat yang menjadikan kata-kata sebagai peluru perlawanan terhadap ketidakadilan. Lahir pada 26 Agustus 1963, Thukul tumbuh dari keluarga sederhana. Ayahnya penarik becak, ibunya menjual ayam bumbu untuk menambah penghasilan. Hidup keras di gang sempit Solo itulah yang menempanya menjadi manusia yang peka terhadap penderitaan sesama. Dari kecil ia sudah terbiasa menatap ketimpangan — dan dari sanalah puisinya berakar.
“Puisi bukan milik penyair,” tulisnya suatu kali. “Puisi adalah milik mereka yang berani bersuara.” Thukul mulai menulis sejak duduk di bangku SD. Semasa SMP, ia jatuh cinta pada dunia teater dan kemudian bergabung dengan Teater Jagat, kelompok kecil yang kerap ngamen puisi dari kampung ke kampung. Dari sana ia mengenal denyut kehidupan rakyat kecil: buruh, tukang becak, dan pedagang kaki lima — mereka yang kelak menjadi jiwa dari setiap sajaknya.
Hidup tak mudah. Setelah hanya bertahan dua tahun di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari karena alasan biaya, Thukul sempat menjadi calo karcis, tukang pelitur, hingga penjual koran. Namun di sela perjuangan hidup, ia tetap menulis. Puisinya menjadi napas perlawanan bagi mereka yang tak mampu bersuara.
Pada Oktober 1989, ia menikahi Siti Dyah Sujirah, atau yang akrab disapa Sipon, seorang buruh pabrik. Dari pernikahan itu lahir dua anak, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Hidup mereka sederhana, tapi penuh semangat. Dalam rumah kontrakan kecil di Solo, Thukul menjadikan ruang tamunya sebagai tempat latihan teater, ruang baca, sekaligus markas seniman rakyat.
Aktivitasnya di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) membuatnya semakin dikenal sebagai simbol perlawanan. Namun keberaniannya juga membuat hidupnya tak lagi tenang. Ia sering diintimidasi, ditangkap, bahkan dipukuli aparat. Tahun 1995, matanya sempat cedera akibat benturan dengan mobil polisi ketika memimpin aksi buruh. Tapi semangatnya tak pernah padam. “Hanya ada satu kata: lawan!” — begitu seruan yang abadi dari sajak terkenalnya, Peringatan.
Namun, pada Februari 1998, suara itu tiba-tiba senyap. Thukul menghilang. Diduga, ia menjadi salah satu korban penculikan aktivis menjelang kejatuhan Orde Baru. Sejak saat itu, tak pernah ada kabar. Hanya puisi-puisi yang tertinggal, menjadi jejak keberaniannya yang abadi. Sipon, istrinya, bertahun-tahun menunggu dengan harapan yang tak pernah padam, hingga akhirnya berpulang pada 2023. Anak mereka, Fajar Merah, meneruskan suara sang ayah melalui musik dan panggung-panggung puisi.
Kini, nama Widji Thukul tak sekadar dikenang sebagai penyair. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketakutan. Puisinya seperti api kecil yang terus menyala, mengingatkan bangsa ini bahwa keadilan dan kebebasan tak boleh dibungkam. “Jika rakyat pergi,” tulisnya dalam salah satu sajaknya, “penguasa bisa kehilangan mata kaki, kehilangan tangan, kehilangan mata.”
Widji Thukul mungkin telah tiada, tapi suaranya tak pernah hilang. Ia hidup dalam setiap kata, setiap baris puisi, setiap nyanyian akar rumput yang berani berkata: lawan! (Sg)

