spot_img
BerandaHumanioraWaktu yang Menyala Menunggu, Kehilangan, dan Keabadian

Waktu yang Menyala Menunggu, Kehilangan, dan Keabadian

Waktu yang terasa lambat bagi yang menunggu, cepat bagi yang kehilangan, panjang bagi yang gundah, dan singkat bagi yang bahagia — semua akhirnya bertemu di satu titik: penerimaan. Hanya mereka yang belajar mengasihi waktu yang memahami rahasianya. Bagi mereka, waktu bukan garis yang bergerak dari awal ke akhir, melainkan lingkaran yang selalu membawa kita pulang — ke diri sendiri, ke makna, ke keabadian.

LESINDO.COM – Pagi itu, embun belum sepenuhnya menyerah pada matahari. Di bangku taman kota, seorang wanita tua duduk memandangi jam di pergelangan tangannya. Jarumnya berputar biasa saja — tapi di balik tatapannya, ada semacam jeda yang tak bisa diukur oleh detik.
“Lucu ya,” katanya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, “setiap orang punya waktu yang sama. Tapi rasa waktunya tak pernah sama.”

Kalimat itu mengalir seperti air, menembus batas usia dan pengalaman. Kita semua hidup di bawah ritme yang identik — dua puluh empat jam sehari, enam puluh menit setiap jamnya. Namun waktu bukan matematika. Ia lebih menyerupai rasa: lentur, cair, dan sering kali tak adil.
Bagi yang menunggu, waktu terasa seperti rantai yang menahan langkah. Satu menit bisa menjelma menjadi siang yang panjang. Tapi bagi yang sedang berbahagia, waktu berlari terlalu cepat — seperti sayap kupu-kupu yang tak bisa ditangkap.

Di sudut lain kota, seorang pemuda menatap layar ponselnya. Pesan terakhir dari seseorang yang dulu sangat berarti masih tersimpan di sana, tak pernah dihapus, tak juga dibalas. “Kenapa waktu cepat sekali berjalan ketika aku ingin berhenti di satu momen?” tulisnya di catatan kecil. Ia tak sadar bahwa yang ia keluhkan bukan cepatnya waktu, melainkan kehilangan yang tak pernah siap ia lepaskan.
Waktu, dalam bentuk yang paling jujur, memang tak pernah menunggu siapa pun.

Namun waktu juga tidak selalu kejam. Di tangan orang yang tahu cara menyentuhnya dengan lembut, waktu bisa berubah menjadi teman yang bijaksana.
Di ruang kelas kecil di desa pinggiran, seorang guru menulis di papan tulis: “Setiap detik adalah kesempatan untuk menanam kebaikan.”
Ia mengucapkannya bukan sebagai slogan, melainkan keyakinan. Di matanya, waktu adalah lahan. Ia tahu tidak semua benih tumbuh secepat yang diharapkan, tapi setiap benih yang jatuh di tanah yang benar, kelak akan berakar.

Bagi sebagian orang, waktu adalah musuh — sesuatu yang harus dikejar, dilawan, atau bahkan dikalahkan. Tapi bagi mereka yang mengasihi waktu, setiap menit justru menjadi ruang untuk hadir sepenuhnya.
Seorang pelukis tua di kampung Laweyan pernah berkata, “Aku tak takut waktu menua, karena setiap garis yang kubuat di kanvas adalah cara untuk melambatkannya.”
Dan benar saja, setiap goresan cat adalah perlawanan kecil terhadap lupa. Bukan untuk menahan waktu berhenti, tapi untuk menjadikannya berarti.

Dalam sunyi sore, saat matahari mulai rebah, waktu seperti menampakkan wajah lainnya — lembut, teduh, nyaris spiritual. Ia tidak lagi menuntut, tidak juga menghakimi.
Di jam-jam seperti ini, orang-orang yang berani diam menemukan dirinya kembali. Seorang ibu yang baru saja menidurkan anaknya menatap wajah kecil di pelukannya. Ia tahu anak itu akan tumbuh, dan waktu akan mencuri bentuk mungil itu perlahan. Tapi justru di situlah keindahan bekerja — karena waktu yang hilang memberi ruang bagi cinta untuk bertumbuh.

Waktu yang terasa lambat bagi yang menunggu, cepat bagi yang kehilangan, panjang bagi yang gundah, dan singkat bagi yang bahagia — semua akhirnya bertemu di satu titik: penerimaan.
Hanya mereka yang belajar mengasihi waktu yang memahami rahasianya. Bagi mereka, waktu bukan garis yang bergerak dari awal ke akhir, melainkan lingkaran yang selalu membawa kita pulang — ke diri sendiri, ke makna, ke keabadian.

Menjelang malam, wanita tua di taman tadi menutup bukunya. Di tangannya, secangkir kopi yang kini dingin menjadi saksi bahwa waktu telah berjalan. Tapi matanya teduh, tidak resah.
“Waktu selalu memberi,” katanya sebelum beranjak. “Yang penting, kita belajar membalasnya — dengan hadir sepenuh hati.”

Ia melangkah pergi. Di belakangnya, daun-daun gugur pelan di atas bangku kosong. Tak ada yang benar-benar pergi, pikirnya. Karena bagi mereka yang mengasihi waktu, setiap detik yang hidup dengan kesadaran adalah bentuk kecil dari keabadian itu sendiri. (Fai)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments