Penulis : Faicha Adilla
Sebuah Kisah tentang Doa, Syukur, dan Getaran Batin
Setiap pagi, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang perempuan duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Bibirnya tak pernah absen melafalkan doa, memohon agar pintu rezeki dibukakan. Namun setelah bertahun-tahun, hidup terasa tetap sama: uang seret, kebutuhan datang bertubi-tubi, dan kecemasan seakan tak mau pergi.
Ia bukan satu-satunya.
Banyak dari kita pernah merasakan hal serupa—sudah berdoa, sudah bekerja keras, tapi hidup tak kunjung lapang. Lalu muncul tanya di hati: “Apakah doaku tak didengar?”
Namun, mungkin bukan itu yang terjadi. Bukan doanya yang salah—tapi getaran di dalam diri yang belum selaras.
Dalam falsafah Jawa dikenal istilah ngrasuk rasa. Meresapi, bukan sekadar mengucap. Karena doa, sebagaimana kata orang bijak, bukan hanya soal kata-kata—tetapi getarannya. Hati yang selalu merasa kurang, tanpa disadari, mengundang kekurangan datang lagi dan lagi.
Sebaliknya, ada pula mereka yang terlihat biasa saja. Rezekinya tak mengalir deras, tetapi hidupnya terasa cukup. Santai. Damai. Selalu bisa tersenyum, selalu merasa memiliki sesuatu untuk disyukuri.
Mereka bukan lebih kaya.
Mereka hanya lebih selaras.
Seorang bapak di desa pernah berkata, sambil menatap padi yang baru tumbuh:
“Wong urip kui, sing diajak selaras dudu jagad iki… nanging awake dhewe.”
Orang hidup ini, yang mesti diajak selaras bukan dunia di luar… tapi diri sendiri.
Dan benar saja.
Ketika kita terus-menerus berdoa: “Tuhan, berilah aku…” — maka yang hadir adalah rasa kurang.
Tapi ketika doa berubah menjadi:
“Terima kasih Tuhan, rezekiku cukup, bahkan bertambah…”
— maka yang datang adalah ketenangan, rasa cukup, dan rezeki yang mengalir dari arah yang tak terduga.
Dalam budaya Jawa juga ada nrimo ing pandum. Sebuah sikap menerima dengan lapang, tanpa berhenti berusaha. Dan ada sesuatu yang hampir mistis di sana: ketika batin tenang, frekuensi berubah, dan hidup mengalir lebih mudah.
Sebab semesta tak membaca kata-kata.
Semesta membaca energi yang kita pancarkan.
Kini, semakin banyak orang yang mulai memahami: doa bukan hanya permintaan, tapi juga pernyataan. Bukan memohon dari kekosongan, tapi bersyukur dari rasa penuh.
Doa yang berubah, mengubah hati.
Hati yang berubah, mengubah tindakan.
Tindakan yang berubah, mengubah jalan hidup.
Mungkin rezeki tak datang seperti yang kita bayangkan.
Tapi lewat jalan lain—kesehatan, kedamaian, orang-orang yang membantu tanpa diminta, kesempatan yang muncul tiba-tiba.
Kadang bukan jumlahnya yang berubah…
tapi cara kita memandangnya.
Dan pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang menunggu diberi.
Tetapi mengundang apa yang kita yakini.
Maka hari ini, cobalah pelan-pelan mengubah doa:
Bukan lagi, “Tuhan, aku kekurangan.”
Tapi, “Tuhan, terima kasih… hidupku selalu tercukupkan.”
Ubah frekuensimu.
Ubah hidupmu.

