spot_img
BerandaBudayaTumpeng di HUT PGRI ke-80: Gunung Kecil yang Menjaga Doa Para Guru

Tumpeng di HUT PGRI ke-80: Gunung Kecil yang Menjaga Doa Para Guru

Di tengah zaman yang serba cepat, tumpeng seperti jeda kecil yang menenangkan. Ia mengajak setiap orang kembali ke akar budaya: bahwa syukur harus dirayakan, bahwa kebersamaan perlu dirawat, dan bahwa doa sebaiknya tidak hanya diucapkan, tetapi juga dihadirkan lewat simbol-simbol sederhana yang penuh makna.

LESINDO.COM – Di sudut ruang guru yang sederhana, aroma nasi gurih bercampur wangi daun pisang menyebar pelan. Di atas tampah bambu, berdiri tegak sebuah tumpeng putih berbalut janur hijau—gunung kecil yang sejak pagi menjadi pusat perhatian. Para guru lalu-lalang, beberapa sibuk menata kursi, sementara yang lain menyelipkan doa dalam hati. Tidak ada perayaan ulang tahun PGRI tanpa tumpeng; seakan-akan, tanpa kehadirannya, acara syukur itu kehilangan ruhnya.

Tumpeng hari itu tampak istimewa: kerucut nasi yang ditopang lingkaran lauk-pauk, telur-telur rebus yang tersusun rapi, sayuran hijau yang segar, ayam goreng, dan hiasan dari wortel serta mentimun yang dibentuk seperti kuntum bunga. Di sekelilingnya, tangan-tangan guru menyentuhnya dengan kelembutan seolah sedang menyapa kenangan masa lalu.

Gunung dan Doa yang Menggema dari Zaman Jawa Kuno

Tumpeng, dalam perjalanan panjang sejarah Jawa, bukan sekadar hidangan. Ia adalah simbol. Sebuah miniatur gunung—maha loka—yang dalam kosmologi Jawa dipandang sebagai tempat bertemunya manusia dengan Yang Kuasa. Dari masa Hindu-Buddha hingga kemudian melebur dalam tradisi Islam Jawa, tumpeng tak pernah kehilangan makna sebagai penanda syukur dan permohonan keselamatan.

Dalam tradisi agraris, gunung adalah sumber kehidupan. Maka menghadirkan bentuk gunung di tengah rumah sama saja dengan menghadirkan berkah. Di balik kerucut itu tersimpan nilai-nilai yang tak pernah lekang: harapan agar hidup menanjak naik, cita-cita semakin kokoh, dan langkah selalu diberi petunjuk.

Pada masa Islam Jawa, tumpeng masuk ke tradisi slametan—ritual hening yang menandai fase penting kehidupan: kelahiran, panen, pindahan rumah, hingga ulang tahun. Di setiap momen itu, tumpeng menjadi saksi bisu antara manusia dan harapan yang mereka titipkan.

Berkah yang Mengelilingi

Lauk pauk yang mengelilingi tumpeng pun bukan sembarang pelengkap. Dalam pandangan Jawa, setiap elemen membawa pesan:

  • Ayam ingkung melambangkan kepasrahan seorang hamba.
  • Telur utuh menyimbolkan ketertiban dan proses hidup yang harus sabar dijalani satu per satu.
  • Sayur mayur adalah kesejukan—ajakan untuk tetap teduh dan rendah hati.
  • Ikan melambangkan keteguhan menghadapi arus kehidupan.

Tumpeng adalah narasi lengkap tentang nilai: keteguhan, keikhlasan, keseimbangan, kebersamaan.

Ketika Tumpeng Menjadi Wajah PGRI

Dalam setiap perayaan ulang tahun, tumpeng bukan hanya makanan perayaan. Ia adalah pengingat tentang perjalanan hidup, tentang harapan yang terus dipanjatkan, dan tentang filosofi yang diwariskan dari generasi ke generasi.(mc)

Di usia 80 tahun, PGRI bukan lagi sekadar organisasi—ia adalah rumah besar bagi para penjaga ilmu. Dan tumpeng, sekali lagi, menjadi wajah paling jujur dalam merayakan perjalanan panjang itu. Di balik kerucut nasi itu, tersimpan filosofi yang amat dekat dengan dunia pendidikan:

Kerucut yang mengerucut ke puncak serupa perjalanan seorang guru: naik perlahan, penuh hambatan, namun tetap menuju titik tertinggi yang disebut pengabdian.

Lauk yang tersusun melingkar adalah gambaran komunitas pendidikan: guru, murid, orang tua, dan masyarakat—saling mengisi, saling melengkapi.

“Setiap tahun tumpeng ini hadir, seperti doa yang tak pernah putus,” ucap seorang guru senior sambil menatap hidangan itu lama. “Tumpeng mengingatkan kami bahwa mengajar bukan hanya profesi. Ini laku hidup.”

Ketika prosesi pemotongan dimulai, suasana ruangan berubah hening. Kerucut puncak dipotong perlahan dan diberikan kepada guru tertua—sebuah tradisi yang sarat makna: penghormatan pada mereka yang telah lebih dulu menapaki jalan panjang pendidikan.

Gunung Kecil yang Menyimpan Rasa Syukur

Di tengah zaman yang serba cepat, tumpeng seperti jeda kecil yang menenangkan. Ia mengajak setiap orang kembali ke akar budaya: bahwa syukur harus dirayakan, bahwa kebersamaan perlu dirawat, dan bahwa doa sebaiknya tidak hanya diucapkan, tetapi juga dihadirkan lewat simbol-simbol sederhana yang penuh makna.

Bagi PGRI, tumpeng bukan hanya makanan yang dinikmati. Ia adalah penjaga tradisi, pengikat kebersamaan, serta pengingat bahwa pendidikan tumbuh dari nilai-nilai luhur.

Dan ketika potongan pertama berpindah tangan, seisi ruangan tahu: ulang tahun bukan hanya tentang bertambahnya usia—tetapi tentang merawat harapan.

Seperti gunung kecil di atas tampah itu, yang diam-diam mengajarkan pendakian yang sabar dan tulus. (Rai)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments