LESINDO.COM – Di ruang tunggu ICU sebuah rumah sakit di Solo, malam terasa panjang. Lampu putih di langit-langit memantulkan bayangan sayu di wajah para penunggu pasien. Di salah satu sudut, seorang pria paruh baya tampak menata bantal dan alas tipis, berusaha mencari posisi nyaman di kursi besi dingin. Ia sudah hampir dua minggu berjaga di sana — menunggu istrinya yang sedang berjuang melawan penyakit yang disebut dokter: autoimun.
“Sudah hampir 13 hari, Mas. Istri saya belum sadarkan diri,” ujarnya pelan. “Katanya tubuhnya menyerang dirinya sendiri. Mungkin karena dulu sering cemas, stres… sampai-sampai tenggorokannya ikut bermasalah.” Kalimat itu menggantung di udara. Ada rasa bingung dan pasrah yang sulit dibedakan. Ia tak sepenuhnya mengerti istilah medis, tapi ia tahu satu hal: penyakit ini membuat orang yang dicintainya harus berjuang keras — melawan tubuhnya sendiri.
Ketika Tubuh Salah Mengenali Musuh
Autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi malah menyerang jaringan tubuh sendiri. Normalnya, sistem imun bertugas mengenali dan melawan virus, bakteri, atau zat asing. Tapi pada penderita autoimun, sistem ini justru keliru — menganggap sel tubuh sendiri sebagai musuh.
Ada lebih dari 80 jenis penyakit autoimun, di antaranya lupus, rheumatoid arthritis, psoriasis, Hashimoto, hingga multiple sclerosis.
Gejalanya pun beragam, tergantung organ yang diserang: bisa berupa kelelahan ekstrem, nyeri sendi, gangguan kulit, tenggorokan, hingga kerusakan organ dalam.
Menurut para ahli, penyebab pastinya belum sepenuhnya diketahui. Namun, faktor stres, genetik, hormon, dan lingkungan diyakini berperan besar.
Dr. Rini Kurniasih, Sp.PD, spesialis penyakit dalam RSUD dr. Moewardi, menjelaskan bahwa stres emosional kronis dapat memicu reaksi berantai dalam tubuh. “Ketika seseorang terlalu lama dalam kondisi cemas, hormon stres seperti kortisol meningkat. Ini bisa mengganggu keseimbangan imun, dan pada individu tertentu, memicu autoimun,” jelasnya.
Tubuh yang Mendengar Pikiran

Tubuh manusia, ternyata, benar-benar bisa “mendengar” isi kepala. Saat seseorang berpikir positif, tenang, dan optimis, otak menurunkan produksi kortisol dan meningkatkan hormon kebahagiaan seperti endorfin dan dopamin.
Dampaknya? Sistem imun jadi lebih seimbang, sel-sel tubuh bekerja lebih efisien memperbaiki diri.
Sebaliknya, pikiran negatif yang berkepanjangan bisa memperlemah daya tahan tubuh. Luka lebih lambat sembuh, peradangan meningkat, dan risiko penyakit kronis bertambah.
Bagi penderita autoimun, kondisi ini bisa memperburuk gejala flare — ketika sistem imun kembali menyerang tubuh secara tiba-tiba.
Menunggu dengan Harapan
Sang suami menatap layar kecil yang menunjukkan kondisi istrinya di ruang ICU.
Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali menarik napas panjang. “Saya percaya, kalau pikirannya tenang, tubuhnya juga ikut kuat. Sekarang tugas saya cuma berdoa, menjaga semangat itu tetap ada,” ucapnya lirih.
Malam semakin larut, tapi ia belum beranjak. Dalam keheningan ruang tunggu, ada doa yang terus dipanjatkan — agar tubuh yang sedang berperang itu kembali berdamai dengan dirinya sendiri.
Kisah ini bukan hanya tentang penyakit, tapi tentang hubungan antara pikiran, tubuh, dan harapan. Tentang bagaimana manusia, bahkan di tengah kondisi paling rapuh, masih bisa memeluk keyakinan bahwa setiap sel tubuh punya memori tentang cinta — dan cinta itu pula yang mungkin bisa menyembuhkan. (Dhen)