Ritual Gunung Lawu Menjaga Akar Merawat Tradisi
LESINDO.COM – Gunung Lawu, yang membentang di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung bagi para pendaki. Di balik keheningan alaminya, ada jejak-jejak kearifan lokal yang terus tumbuh, ritual yang menghubungkan manusia dengan alam, leluhur, dan rasa Syukur kepada Maha Pencipta. Gunung Lawu menjadi saksi sebuah ritual yang menarik perhatian publik. Puluhan orang, berpakaian sorjan dengan ikat kepala dan selebihnya pakaian hitam dengan bawahan balutan hatam kedua pakaian yang melambangkan kesederhanaan. Mereka berkumpul dipintu pendakian Cemoro Kandang dan akan melakukukan kirab budaya menuju Punden Pertapaan Bancolono yang terletak di lereng Gunung Lawu, di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada perbatasan antara Karanganyar dan Magetan
Menurut situs resmi pemerintah Kabupaten Karanganyar, tempat ini dianggap dulunya sebagai petilasan (tapak jejak) dari Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Setelah runtuhnya Majapahit, dipercaya bahwa sang raja atau tokoh terkait memilih untuk melakukan pertapaan di kawasan tersebut. Selain itu, tempat ini juga dikenal sebagai kawasan “sendang” (mata air keramat), dengan adanya Sendang Putri, Sendang Lanang, dan lokasi altar utama di punden Bancolono.

Terdapat beberapa versi cerita tentang asal nama “Bancolono” atau “Bancalono”. Menurut penjaga sendang, Best Hariyanto, Bancalono adalah seorang senopati pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Brawijaya V. Best menyebut bahwa Bancalono adalah murid dari “Eyang Lawu.” Nama “Bancalono” dianggap sebagai akronim bahasa Jawa dari “korbano” dan “uculono” artinya “korbankanlah” dan “lepaskanlah.” Makna simbolisnya apa pun beban, kesialan, atau negatif dalam diri manusia, dilepaskan di tempat ini. Oleh karena itu, ritual di sini terkait dengan “membersihkan diri” baik secara spiritual maupun simbolis dari hal-hal buruk atau negatif.
Fungsi Ritual dan Keyakinan yang Berkembang
Pertapaan Bancolono saat ini tidak sekadar menjadi jejak sejarah, tapi juga pusat kegiatan ziarah dan diantaranya. Pengunjung yang ingin “melepaskan beban” atau “membersihkan diri” diyakini perlu memulai dari dua sendang ini terlebih dahulu, sebelum kemudian menuju altar utama di punden. Sendang Lanang diyakini memiliki aura tinggi dan dipercaya dapat melunturkan santet, gangguan, atau susuk. Sendang Putri diyakini membantu melancarkan keinginan, membuang sial, dan membantu doa dikabulkan.
Setelah ritual pembersihan di sendang-sendang, pengunjung kemudian “sowan” (berziarah) ke altar utama punden. Di sinilah tahapan final dari ritual pelepasan dan pengikatan doa terjadi. Keyakinan akan daya tuah / berkah. Banyak orang percaya bahwa tempat ini memiliki “tuah” dan bahwa ritual di sana dapat membantu dalam hal-hal seperti kebersihan spiritual, penghilangan sial, dan permohonan berkat. Karena itu, punden ini sering didatangi oleh orang-orang dari luar daerah, termasuk pejabat, tokoh publik, bahkan gubernur misalnya Ganjar Pranowo pernah mengambil air dari sendang Bancolono untuk dibawa ke pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Legenda menyebut bahwa Bancalono tidak mempunyai makam fisik karena dikatakan “moksa” seperti Raja Brawijaya V di Argo Dalem. Moksa berarti naik ke alam yang tidak berwujud, tidak meninggalkan jasad fisik. (Cyo)