Catatan kecil tentang waktu, laut, dan cinta yang diam-diam menunggu.
LESINDO.COM – Sore mulai merunduk di Pelabuhan Lembar. Angin laut berembus pelan, membawa aroma asin dan debu jalan yang hangat. Di antara keramaian kendaraan yang antre naik kapal, ada tiga sosok duduk diam di tepi dermaga — seorang bapak dan dua anaknya. Mereka bertiga menatap laut yang memantulkan cahaya jingga, seolah sedang berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh keheningan.
Kapal di kejauhan menyalakan mesin, suaranya bergema seperti panggilan dari masa depan. Sang bapak tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk bersila, tangannya bertumpu di lutut, matanya lurus ke arah laut. Di sampingnya, dua anaknya meniru posisi yang sama. Ada kesetiaan dalam pandangan mereka, kesetiaan yang belum tahu bentuknya — entah pada laut, pada perjalanan, atau pada ayah mereka sendiri.
Waktu di pelabuhan tidak pernah benar-benar berhenti. Ia terus mengalir, tapi terasa lambat — seperti ingin memberi ruang bagi manusia untuk merenung. Setiap kapal yang berangkat membawa doa dan rindu, setiap kapal yang datang membawa cerita baru. Namun di sela-sela keberangkatan itu, selalu ada yang tertinggal: seseorang yang menunggu, seseorang yang masih percaya.

Barangkali sang bapak bukan sedang menunggu kapal. Mungkin ia sedang menunggu hari esok yang lebih baik, menunggu kepastian, atau sekadar menunggu waktu yang bersedia memberinya jeda. Di sisi lain, kedua anaknya hanya tahu satu hal: bersama ayah mereka, laut tampak tenang.
Langit makin redup. Warna jingga perlahan berubah menjadi ungu keperakan. Suara ombak menepi lembut, seperti menenangkan hati yang tak lagi muda. Dari kejauhan, kapal perlahan menjauh, meninggalkan jejak riak panjang di permukaan air. Dan di tepi dermaga itu, tiga bayangan masih duduk diam — semakin menyatu dengan senja, semakin larut dalam waktu yang mereka biarkan lewat begitu saja.
Pelabuhan Lembar sore itu seolah menjadi cermin dari kehidupan: tempat orang datang dan pergi, tempat waktu menguji ketabahan, tempat cinta diuji oleh jarak. Dalam diam yang panjang itu, tidak ada yang benar-benar hilang. Karena menunggu, sejatinya, adalah bentuk lain dari harapan — harapan yang tetap hidup meski tak diucapkan. (mac)