LESINDO.COM – Di jantung Kota Solo, ketika fajar baru memanjat atap-atap tua Pasar Gede Hardjonagoro, aroma bawang merah, daun kemangi, hingga kembang kantil pelan merayap ke udara. Para pedagang membuka lapak, bunyi logam meja dihentakkan, suara ibu-ibu menawar harga, dan langkah cepat pembeli menciptakan orkestra pagi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun tepat di selatan bangunan pasar legendaris itu, berdirilah sebuah bangunan yang tidak larut oleh hiruk-pikuk. Klenteng Tien Kok Sie—dengan warna merah dan kuning emas yang menyala—menjadi titik keheningan yang memandang denyut manusia dari jarak yang sangat dekat.
Di antara riuh musik pasar inilah, klenteng tersebut seperti penjaga waktu. Setiap sudutnya memelihara cerita, hampir seperti seseorang yang duduk diam, tetapi menyimpan banyak kisah dalam senyumnya.
Pindah dari Kartasura, Mengikuti Arus Zaman
Sumantri Dana Waluya, pemimpin pengurus klenteng, menyambut pengunjung dengan senyum ramah yang khas Solo. Di balik pintu merah besar yang mulai pudar dimakan usia, ia menceritakan kembali asal-usul rumah ibadah Tri Dharma itu.
“Klenteng ini aslinya dari Kartasura,” ujarnya lembut. Sebuah kota lama yang pernah menjadi pusat kekuasaan sebelum Keraton Kasunanan Surakarta dipindahkan pada 1745.
Pada masa itu, perpindahan keraton bukan hanya soal politik, melainkan turut menggerakkan masyarakatnya: para abdi dalem, pedagang, pengrajin, dan komunitas Tionghoa yang telah lama menetap di pusat kerajaan. Bersama gelombang perpindahan itu, rumah-rumah ibadah juga ikut mencari tempat baru. Di sanalah jejak Tien Kok Sie dimulai.
Tahun 1748, tiga tahun setelah keraton berdiri di Surakarta, klenteng ini dibangun kembali di lokasi yang sekarang. Tempat yang tak jauh dari pusat ekonomi baru kota. Menurut catatan para sesepuh, pemilihan lokasi itu bukan kebetulan: di mana ada pasar, di situ ada perjumpaan manusia; dan di sana pula spiritualitas menemukan rumahnya.
Bangunan Tua yang Menyerap Kehidupan

Memasuki halaman klenteng, bau hio yang menyala samar bercampur dengan aroma rempah dari kios-kios bumbu dapur di Pasar Gede. Suara langkah pengunjung bercampur dengan teriakan pedagang yang menawarkan dawet, gempol pleret, hingga kerupuk rambak.
Namun begitu melangkah ke dalam, suasana berubah. Langit-langit kayu yang digantung lampion tua membuat cahaya berpendar lembut. Patung-patung dewa berbaris dengan tatapan tenang. Di sebuah sudut, lilin merah besar menyala pelan, seakan menjaga ingatan ratusan tahun.
Beberapa pengunjung datang bukan hanya untuk memanjatkan doa, tetapi untuk sekadar menghirup ketenangan. Ada yang menunduk lama di depan altar, ada pula yang hanya duduk diam sambil menunggu hati mereka selesai berbicara.
“Klenteng ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga rumah bagi banyak cerita,” kata Sumantri. Ia bercerita tentang para perantau Tionghoa yang dulu memulai hidup dari nol di Solo. Tentang pedagang-pedagang yang singgah untuk berdoa sebelum membuka toko. Tentang warga Jawa yang datang meminta keselamatan, tanpa memandang agama. “Semua ketemu di sini. Seperti pasar, klenteng ini juga milik semua,” tambahnya.
Harmoni yang Bertahan di Tengah Perubahan
Pasar Gede telah melewati banyak babak: masa kolonial, masa pendudukan Jepang, hingga masa modern ketika arus wisata mulai masuk. Sekitarnya berubah, kios berubah, pedagang berganti generasi. Tetapi Tien Kok Sie tetap berdiri—tenang, seperti batu karang yang mendengarkan lautan.
Di hari-hari besar seperti Imlek dan Cap Go Meh, halaman klenteng berubah menjadi panggung budaya. Barongsai berloncatan, anak-anak kecil berlari membawa angpao, para sesepuh menyalakan ratusan lilin merah hingga cahaya membanjiri malam. Namun sehari-hari, klenteng ini lebih sering menjadi ruang sunyi tempat orang menata hati.
Di titik inilah Tien Kok Sie memegang fungsi yang hampir filosofis: sebuah rumah spiritual yang tumbuh bersama denyut ekonomi dan sosial masyarakat Solo. Tidak ada sekat-sekat kaku; yang ada justru ruang yang lentur, yang membuat siapa pun merasa diterima.
Jejak yang Tak Lekang
Menjelang siang, panas mulai menetes dari langit. Pasar semakin padat, orang-orang mendorong gerobak, kendaraan berlalu-lalang di Jalan Urip Sumoharjo. Tetapi di dalam klenteng, suasana tetap teduh.
Lampion bergoyang pelan, seperti mengangguk pada angin yang lewat. Lantunan doa terdengar samar. Dan di luar, suara pasar bergema—kontras namun justru saling melengkapi.
Tien Kok Sie mengajarkan satu hal: bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan napas yang terus hidup. Bahwa sebuah kota dibangun bukan hanya dari bangunan megah, tetapi dari tempat-tempat kecil yang setia menjaga ruhnya.
Di antara riuh rendah Pasar Gede, klenteng tua itu tetap memelihara ingatan tiga abad. Menjadi rumah doa, rumah budaya, sekaligus rumah bagi dialog diam antara manusia dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Dan selama lampion merah itu tetap menyala, kisah-kisahnya akan terus berkumpul—seperti asap hio yang perlahan naik ke atap, tidak pernah benar-benar hilang.(Cha)

