LESINDO.COM – Di lereng-lereng sejuk Dieng, para petani memetik buah mungil berwarna merah marun itu dengan hati-hati. Bentuknya lonjong, kulitnya licin mengilap, dan warnanya memantulkan dingin pagi. Warga setempat menyebutnya terong Belanda—nama yang sepintas memberi kesan Eropa, padahal riwayat buah ini justru bermula ribuan kilometer dari sini, jauh di pegunungan Andes, wilayah yang menjadi rumah bagi suku-suku asli Amerika Selatan.
Di tanah asalnya, buah bernama tamarillo itu telah dibudidayakan sejak masa pra-Inka. Ia tumbuh di ketinggian, di tanah yang keras dan udara yang tipis. Petani Andes menghargainya bukan hanya sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai sumber kekuatan: antioksidan untuk menjaga tubuh tetap hangat, vitamin untuk bertahan di tengah iklim yang tak bersahabat. Dalam budaya mereka, tamarillo menjadi bagian dari ritme hidup pegunungan.
Namun perjalanan panjang membawanya menyeberangi samudra. Pada masa kolonial, para pendatang dari Belanda membawa bibit itu ke Hindia Timur. Di perkebunan dataran tinggi—Malang, Wonosobo, Karo hingga Berastagi—buah asing ini menemukan rumah baru. Orang Eropa di Hindia Belanda menyukai rasanya yang asam-manis menyegarkan, cocok diolah menjadi jus, selai, atau tambahan masakan. Dari sanalah sebutan terong Belanda mengakar di lidah masyarakat Nusantara, meski buah tersebut sebenarnya tidak memiliki kaitan historis dengan negeri Kincir Angin.

Kini, puluhan tahun setelah kolonialisme tinggal dalam buku sejarah, terong Belanda tetap bertahan. Di pasar-pasar tradisional dataran tinggi, ia dipajang dalam keranjang rotan bersama carica, pepaya gunung, dan kentang Dieng. Para petani menceritakan bahwa buah ini tidak hanya enak, tetapi juga menyehatkan: kaya antioksidan, vitamin A dan C, serat, potasium, hingga magnesium. Satu buah kecil mampu memberi manfaat yang panjang—dari menjaga tekanan darah, memperkuat daya tahan tubuh, hingga merawat kesehatan kulit berkat kandungan kolagennya.
Dalam secangkir jus terong Belanda yang dihidangkan hangat—mengusir dingin pengunjung yang baru turun dari Candi Arjuna—riwayat panjang buah Andes itu seolah luruh dalam keheningan dataran tinggi. Rasa asam-manis yang menempel di lidah adalah pertemuan antara dua dunia: pegunungan asing yang jauh di seberang benua, dan tangan-tangan petani Nusantara yang merawatnya saban musim.
Di balik kulit merahnya yang sederhana, terong Belanda membawa kisah lintas peradaban: dari ladang-ladang Andes hingga rumah-rumah kecil di Dieng, dari meja makan kolonial hingga dapur-dapur keluarga masa kini. Buah ini bukan hanya gizi; ia adalah jejak perjalanan panjang yang menetap diam-diam dalam keseharian kita. (Ros)

