Sajian Sederhana yang Jadi Ikon Kota Budaya”
LESINDO.COM-Solo dikenal sebagai salah satu kota kuliner terbaik di Jawa Tengah. Dari gudeg ceker, selat, serabi, hingga nasi liwet, setiap makanan memiliki cerita panjang. Salah satu yang paling ikonik adalah tengkleng, sajian berkuah dengan bahan utama tulang kambing yang hingga kini tetap menjadi favorit.
Awal Mula Tengkleng
Sejarah tengkleng tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat Solo pada masa kolonial Belanda. Pada waktu itu, daging kambing dianggap makanan mewah yang hanya bisa dinikmati kaum bangsawan sementara rakyat jelata hanya bisa menatap dari kejauhan. Sementara rakyat kecil hanya bisa memperoleh bagian tulang, kepala, atau kaki yang tersisa dari dapur keraton maupun rumah orang kaya. Namun, setiap kali pesta besar usai, para juru masak keraton atau rumah para meneer Belanda sering menyisakan tulang-tulang kambing: kepala, kaki, iga, hingga sumsum yang melekat tipis di sela-sela tulang. Bagi rakyat kecil, inilah satu-satunya bagian yang bisa mereka peroleh. Dari keterbatasan inilah lahir kreativitas. Tulang-tulang kambing yang masih menyisakan sedikit daging dimasak dengan bumbu rempah khas Jawa, mirip dengan gulai tetapi lebih encer. Hidangan ini kemudian dikenal sebagai tengkleng.

Alkisah, seorang ibu penjual makanan di dekat Pasar Gede tak ingin melihat tulang-tulang itu terbuang sia-sia. Dengan penuh ketelatenan, ia merebus tulang-tulang tersebut, menambahkan rempah-rempah Jawa seperti kunyit, jahe, serai, dan daun jeruk. Kuahnya dibuat encer, tidak sepekat gulai, agar bisa dinikmati banyak orang. Aroma harum pun menyeruak, mengundang warga sekitar. Saat dicicipi, ternyata tulang yang direbus lama itu menghasilkan rasa gurih yang nikmat. Anak-anak menggigiti sisa daging di tulang, sementara orang tua menyeruput sumsum hangatnya. Bunyi “kleng-kleng” dari tulang yang beradu saat dimakan membuat orang menyebut masakan itu sebagai “tengkleng”. Kata tengkleng sendiri konon berasal dari bunyi tulang kambing yang beradu ketika dimakan, atau dari sebutan masyarakat setempat untuk masakan berkuah encer dengan isi tulang.
Sejak saat itu, tengkleng menjadi simbol kebersamaan. Meski berasal dari bagian “sisa”, masyarakat percaya bahwa tulang tetap menyimpan rasa, asal diolah dengan hati. Dari kesederhanaan rakyat kecil, lahirlah sebuah hidangan yang kini justru menjadi ikon kebanggaan kuliner Solo. Berbeda dengan gulai yang kuahnya kental, tengkleng justru memiliki kuah bening atau agak encer. Rempah seperti serai, jahe, kunyit, dan santan tipis membuatnya harum sekaligus gurih. Biasanya disajikan dengan nasi putih hangat dan kerupuk. Filosofinya sederhana meski hanya dari bahan sisa, masyarakat mampu mengolahnya menjadi hidangan lezat dan bergengsi. Tengkleng adalah simbol kebijaksanaan wong cilik dalam memanfaatkan apa yang ada.
Filosofi Jawa di Balik Tengkleng dan Tengkleng Masa Kini
Kini, tengkleng bukan lagi makanan kelas bawah. Banyak warung tengkleng di Solo yang terkenal, seperti Tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer, yang selalu ramai antrean. Dari warung sederhana hingga restoran modern, tengkleng sudah menjelma sebagai kuliner kebanggaan kota Solo. Bagi masyarakat Solo, tengkleng bukan sekadar makanan, tetapi juga memiliki nilai filosofi yang dalam.
Pertama kesederhanaan (prasaja) tengkleng lahir dari keterbatasan rakyat kecil. Dari tulang sisa yang dianggap tak berharga, mereka mampu menciptakan hidangan yang lezat. Ini mencerminkan ajaran Jawa bahwa hidup sederhana tidak menghalangi seseorang untuk bahagia, asal pandai mensyukuri dan memanfaatkan apa yang ada. Kedua adalah gotong Royong (guyub rukun), Tengkleng sering dimasak dalam jumlah besar, lalu dinikmati bersama keluarga atau tetangga. Saat makan pun, orang saling berbagi bagian tulang, sumsum, dan kuahnya. Hal ini melambangkan semangat kebersamaan, bahwa kelezatan sejati hadir ketika dinikmati bersama.
Ketiga menjadikan karakter yang teguh dan sabar (tata, titi, wicaksana) untuk menghasilkan tengkleng yang nikmat, tulang harus direbus lama hingga empuk dan bumbu meresap. Ini melambangkan pentingnya kesabaran dalam mengolah hidup. Seperti filosofi Jawa, alon-alon waton kelakon—meski perlahan, asal dikerjakan dengan telaten akan membuahkan hasil.
Keempat Adalah menghargai Sisa (nguri-uri) dalam budaya Jawa, tidak ada yang benar-benar sia-sia. Tengkleng adalah bukti bahwa bahkan bagian yang dianggap rendah pun bisa menjadi istimewa bila dihargai. Dengan demikian, tengkleng bukan hanya kuliner legendaris Solo, tetapi juga cermin kebijaksanaan hidup orang Jawa, sederhana, penuh kebersamaan, sabar, dan pandai mensyukuri nikmat kecil yang ada. (Fai)

