LESINDO.COM – Di sebuah ruang sederhana di sudut kampung, aroma tahu goreng yang gurih menguap pelan dari wajan besar milik Pak Edy. Tahu-tahu kecil berwarna keemasan itu mengapung sebelum ditiriskan, bentuknya kotak-kotak mungil, teksturnya lembut, dan rasanya renyah asin—perpaduan garam dan bawang yang entah bagaimana selalu membuat orang ingin menambah satu genggam lagi. Selain tahu kecil, ia juga membuat versi segitiga, yang tak kalah menjadi favorit pelanggan.
Pak Edy bukan pendatang baru dalam dunia tahu. Ia adalah generasi kedua yang meneruskan usaha orang tuanya. Dulu, sebelum pandemi, ia setiap pagi membantu sang ayah berangkat ke Pasar Legi, Solo. Dengan roda dua dan bronjong besar penuh muatan tahu siap konsumsi, menawarkan dagangan dengan suara khas pedagang lama. “Tahu… baru… gurih…”—sebuah ritme yang kini mulai jarang terdengar.

Namun, pandemi mengubah segalanya. Saat gerak manusia dibatasi dan pasar menjadi sepi, usaha tahu ini ikut goyah. Bangunan-bangunan besar mungkin lebih tampak jatuh berguguran di pemberitaan, tapi usaha kecil seperti milik Pak Edy justru merasakan dampaknya paling awal: pelanggan berkurang, bahan baku naik, dan distribusi terhambat.
Alih-alih menyerah, Pak Edy memilih menyesuaikan diri. Ia membuka lapak kecil di depan rumah. Tanpa plang besar, tanpa etalase mencolok—hanya aroma wajan panas yang jadi penanda. “Alhamdulillah, sampai sekarang masih jalan. Banyak pelanggan yang WA dulu, jadi tinggal saya siapkan,” ujarnya sambil tersenyum, senyum yang mungkin menyimpan lelah tapi juga rasa syukur.
Rutinitasnya tidak main-main. Setiap hari, pukul empat pagi ia sudah mulai menggoreng. Tangan dan tubuhnya terbiasa oleh panas wajan dan asap kayu bakar. Kadang proses itu berlangsung sampai pukul satu siang. Di sela-sela kepulan asap, ada kesabaran yang bertahun-tahun ditempa. Pelanggannya datang silih berganti—ada yang membeli untuk camilan, untuk jual lagi, bahkan ada yang sekadar mampir karena rindu rasa “tahu kecil Pak Edy” yang tak tergantikan.

Tentu saja, ada kendala. Bahan bakar adalah salah satunya. Pak Edy masih menggunakan kayu bakar untuk menjaga rasa khas yang diwariskan keluarganya. Jika kayunya basah, proses menggoreng jadi tersendat. Api sulit menyala, minyak lebih lama panas, dan pekerjaan jadi molor. “Kalau kayunya basah, ya repot… nggak bisa cepat,” katanya sambil tertawa kecil, mencoba tetap ringan menghadapi tantangan harian.
Namun di balik semua suka duka itu, ada keteguhan sederhana: ia bisa tetap berusaha. Jika dulu ia harus ke pasar dan menunggu dagangan habis, kini ia tinggal menunggu pelanggan datang atau menghubungi lewat pesan singkat. Ritmenya berubah, tetapi dedikasi terhadap tahu goreng tetap sama.
Tahu kecil Pak Edy mungkin terlihat sepele—sekadar camilan gurih yang mudah habis dalam sekali duduk. Tapi di balik rasa itu, ada kisah keluarga, ketekunan, adaptasi, dan harapan yang terus dijaga. Kisah tentang seorang penjual tahu yang tetap bertahan, dalam ruang sederhana dan dengan cara yang apa adanya, namun justru di sanalah kehangatan hidup sehari-hari terasa begitu nyata. (mac)

