LESINDO.COM – Di sudut barat laut Tugu Jam Pasar Gede, tepat di tepi jalan yang tak pernah tidur, berdirilah sebuah gerobak sederhana yang setiap pagi dikerubungi para pemburu kehangatan. Itulah tahok Pak Citro, kuliner lembut berkuah jahe yang telah menjejakkan kisahnya sejak tahun 1968—sebuah warisan dari masa ketika sang ayah masih memikul dagangan berkeliling kampung.
Generasi pertama dimulai dari lelaki sepuh asal Bantul, Yogyakarta, yang merantau dan menetap sementara di Solo dengan menempati rumah kontrakan. Dari pikulan kayu yang dipanggul berpindah-pindah, usahanya kemudian bertransformasi menjadi gerobak dorong, sebelum akhirnya pada 2008 menetap di lokasi yang sekarang menjadi titik ziarah kuliner pagi warga Solo.
Kini usaha itu diteruskan oleh generasi kedua: Pak Citro—nama yang begitu Jawa, begitu akrab di telinga, mengingatkan pada sosok-sosok pekerja keras tempo dulu. Ia berjualan bersama istrinya. Setiap pagi, pasangan itu membuka layanan dengan ritme yang cekatan. Meski antrean kadang mengular, setiap pembeli terlayani dengan sigap, seolah tangan mereka sudah hafal betul langkah-langkah kecil yang membangun kehangatan pagi orang Solo.

Sekilas, tahok racikan Pak Citro tampak seperti bubur sungsum. Teksturnya putih bersih, lembut, tersusun berlapis-lapis tipis. Namun bahan dasarnya bukan tepung beras, melainkan kedelai yang diolah menjadi kembang tahu. Kuah jahenya—hangat, manis, dan wangi—merebus ingatan siapa saja yang menyeruputnya.
Tahok di Pasar Gede bukan sekadar kudapan. Ia adalah kisah panjang yang mengalir pelan, dibawa dari dapur-dapur Pecinan yang telah lama menetap di sekitar pasar berusia ratusan tahun itu. Setiap subuh, sebelum deru kendaraan dan hiruk pikuk pasar benar-benar memadat, aroma jahe rebus dari gerobak Pak Citro sudah lebih dulu merambat ke udara. Aroma itu seperti mengetuk pintu pagi, mengajak siapa pun untuk berhenti sejenak dari tergesa-gesa.
Di mangkuk tahok itulah, Solo meracik jedanya sendiri. Ada langkah para pedagang yang baru membuka lapak, ada obrolan ringan yang berseliweran, ada sapa singkat antara pembeli dan penjual yang seperti tak pernah kehilangan hangatnya. Semangkuk tahok menjadi titik koma dalam kalimat panjang kehidupan pasar—jeda kecil yang menyatukan manis, hangat, dan kenangan.
Bagi banyak warga, menikmati Tahok Pak Citro serupa menyimak cerita lama yang tak pernah jemu diulang. Cerita tentang kesederhanaan yang dirawat, tentang rasa yang dipertahankan tanpa manipulasi, tentang Solo yang pelan tapi setia menjaga tradisi kecilnya.
Dari pikulan sederhana tahun 1968 hingga gerobak yang kini menjadi ikon, tahok ini bukan hanya bertahan. Ia menjelma legenda—semangkuk hangat yang menautkan masa lalu, masa kini, dan ingatan siapa pun yang pernah mencicipinya. (Et)

