LESINDO.COM- Embun pagi menetes di halaman pesantren tua di Desa Kramat, Bangkalan. Di antara desir angin laut dan aroma tanah pesisir, para santri masih setia menekuni kitab kuning, suara mereka bersahut-sahutan melantunkan ilmu warisan seorang ulama besar: Syaikhona Muhammad Kholil. Dari tempat sederhana inilah, lebih dari seabad lalu, lahir gelombang kebangkitan spiritual dan kebangsaan yang kini diakui negara lewat gelar Pahlawan Nasional.
Dari Kramat Menyapa Dunia
Lahir pada 25 Mei 1835, Syaikhona Kholil tumbuh di keluarga ulama terpandang. Ayahnya, KH Abdul Latif, dan ibunya, Nyai Siti Khadijah, menanamkan nilai keilmuan dan kesalehan sejak dini. Kholil kecil dikenal tekun dan haus ilmu. Pada usia muda, ia telah menghafal Alfiyah Ibnu Malik—seribu lebih bait tata bahasa Arab klasik—sebuah capaian luar biasa di masa itu.
Perjalanan menuntut ilmu membawanya ke berbagai pesantren di Jawa Timur hingga ke tanah suci Mekkah. Di sana, ia memperdalam ilmu fikih, tasawuf, dan ilmu bahasa Arab dari para ulama besar Hijaz. Sepulangnya ke tanah air, ia mendirikan Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil di Bangkalan sekitar tahun 1861, yang kemudian menjadi salah satu poros keilmuan Islam di Nusantara.
Guru Para Ulama
Dari pesantren Kramat inilah muncul banyak tokoh besar, salah satunya KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Dalam banyak kisah tutur, Kiai Kholil bukan hanya guru dalam ilmu, tapi juga pemberi restu spiritual bagi berdirinya organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Restu tersebut disimbolkan dengan tongkat, tasbih, dan sorban—tanda amanah sekaligus pesan agar ilmu harus berpadu dengan pengabdian.
Syaikhona Kholil dikenal bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi juga kebijaksanaan dan keteguhannya menjaga harmoni. Dalam pandangan hidupnya, ulama sejati harus ngibadah, mikir, lan ngawula—beribadah, berpikir, dan mengabdi. Ia menolak kemewahan, hidup sederhana, dan lebih senang menyatu dengan masyarakat kecil.
“Ilmu tanpa pengabdian hanya akan jadi debu,” begitu pesan yang sering ia sampaikan kepada para santri.
Kiai yang Tak Mencari Nama
Masyarakat Madura mengenalnya sebagai Syaikhona—gelar kehormatan bagi ulama besar yang dianggap wali. Namun di balik penghormatan itu, Kholil tetap merendah. Ia lebih suka menyebut dirinya “abdi”, hamba Allah yang tugasnya hanyalah menuntun manusia menuju cahaya.
Kesederhanaannya memancarkan karisma. Tak sedikit kisah karomah (kelebihan spiritual) yang melekat padanya, namun yang paling nyata adalah pengaruh moral yang ia tanamkan pada generasi penerus.
Pahlawan dari Pesantren
Seratus tahun setelah wafatnya pada 29 Ramadan 1343 H (1925 M), nama Syaikhona Kholil kembali menggema di tanah air. Melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada ulama karismatik asal Bangkalan ini.
Penghargaan itu bukan sekadar bentuk formalitas kenegaraan, melainkan pengakuan bahwa perjuangan ulama dalam mencerdaskan dan menumbuhkan kesadaran kebangsaan merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
Kini, pesantren yang ia dirikan masih berdiri teguh. Suara ngaji santri menjadi gema abadi atas ajarannya: bahwa kekuasaan sejati ada pada ilmu, dan ilmu sejati adalah yang membawa manfaat bagi sesama.
Dalam kesunyian serambi pesantren Kramat, warisan Syaikhona Kholil terus hidup—menyala seperti pelita di tengah zaman yang gelap oleh hiruk-pikuk dunia. Dari Madura, cahaya itu memancar ke seluruh Nusantara, mengingatkan kita bahwa kebesaran sejati tidak selalu lahir dari istana, tetapi dari ruang belajar sederhana, tempat seorang guru menanamkan iman, akal, dan cinta tanah air. (Cyo)

