Kota Solo, Antara Nama dan Jiwa
LESINDO.COM- Saat malam tiba, denyut kehidupan tak serta-merta mereda. Di sepanjang jalan besar maupun gang kecil, angkringan atau yang oleh warga setempat disebut Hik (hidangan istimewa kampung) menjadi saksi bahwa Solo tak pernah benar-benar tidur. Gerobak sederhana berlampu redup berdiri di setiap sudut, mengundang siapa saja untuk berhenti sejenak, menyeruput teh panas atau kopi jos, ditemani nasi kucing dan obrolan ringan. Cahaya lampu-lampu kecil yang temaram justru menambah kesyahduan. Di balik keremangan itu, tercipta suasana yang akrab dan egaliter. Tak ada sekat, semua orang duduk sejajar mahasiswa, buruh, pegawai, hingga seniman. Solo menjelma ruang pertemuan yang sederhana, hangat, dan penuh cerita. Di kota inilah, keheningan malam selalu berpadu dengan riuh canda tawa. Solo membuktikan, meski tidak sebesar kota-kota lain, ia memiliki jiwa yang tak pernah padam.

Hal yang menarik adalah satu kota memiliki dua nama yang berbeda, di peta resmi kota ini bernama Surakarta, tetapi di hati masyarakat, ia akrab disebut Solo. Dua nama, satu jiwa. Perbedaan penyebutan itu justru menjadi daya tarik tersendiri bagi kota yang terletak di tepi Bengawan Solo ini. Bagi pemerintah, Surakarta adalah nama formal semua dokumen, peraturan, dan lembaga pemerintahan menggunakan nama itu. Namun, ketika menyusuri jalan-jalan kota, anda akan lebih sering mendengar kata “Solo”. Dari pedagang angkringan di pinggir jalan Slamet Riyadi hingga pengunjung Pasar Klewer, sebutan “Solo” terasa lebih akrab, hangat, dan membumi.
Solo memang istimewa kota ini menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa. Dua buah bangunan keraton yang ada di Solo yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran masih berdiri megah, menjadi saksi perjalanan sejarah sejak abad ke-18. Dari ruang-ruang keraton, lahir kesenian wayang orang, gamelan, dan tari-tari klasik yang hingga kini tetap dipelajari generasi muda. Namun, Solo juga modern becak dan kereta kuda berbaur dengan bus Listrik ramah lingkungan. Gedung-gedung baru berdiri, tetapi pasar tradisional tetap ramai. Wisatawan bisa memilih menikmati kuliner legendaris seperti tengkleng di Pasar Klewer atau kopi di kafe kekinian di kawasan Manahan.
“Solo itu tenang, murah senyum,” ujar Pak Surono, penarik becak yang sudah puluhan tahun mengayuh di seputaran alun-alun kidul. “Orang boleh datang sebagai tamu, tapi pulangnya serasa keluarga.” Itulah Solo atau Surakarta kota yang tak hanya punya dua nama, tetapi juga seribu cerita. Sebuah kota yang menjaga tradisi tanpa menolak perubahan, tempat masa lalu dan masa depan bisa berjalan beriringan. (mac)