spot_img
BerandaHumanioraSunyi, Sejuk, Dan Jejak Langkah Di Bumi Perkemahan Al Amin

Sunyi, Sejuk, Dan Jejak Langkah Di Bumi Perkemahan Al Amin

Di sini, waktu tak terburu-buru. Di sini, orang diajak duduk dan mendengar—bukan hanya mendengar narasumber, bukan hanya mendengar instruksi—tapi mendengar dirinya sendiri.

LESINDO.COM – Di lereng Gunung Lawu, ketika kabut pagi turun seperti doa yang belum selesai dilangitkan, ada sebuah tempat yang memanggil siapa saja untuk berhenti sejenak: Bumi Perkemahan Al Amin, di Berjo, Ngargoyoso. Di sinilah alam pelan-pelan membuka ruangnya—tanpa tergesa, tanpa gaduh—seolah mengajak kita belajar sesuatu yang sering terlupa: sebuah butiran ketenangan. Begitu memasuki kawasan ini, udara terasa berbeda. Angin datang dari arah hutan, membawa bau tanah basah dan ranting pinus. Sesekali, terdengar suara burung yang entah sedang menyapa, atau sekadar menegaskan bahwa tempat ini bukan milik manusia semata.

Jejak-jejak yang ditinggalkan tenda
Di atas tanah seluas hampir setengah hektare itu, tenda-tenda berdiri seperti rumah sementara—menyimpan cerita adik-adik pramuka yang baru belajar arti kepemimpinan, suara guru yang tertawa lepas setelah bertahun-tahun berkutat dengan administrasi, juga dialog panjang antara orang tua dan alam saat membawa anaknya camping untuk pertama kali.

Melepaskan rutinitas adalah cara kita memulihkan energi, menyerap kembali kesejukan hidup yang sering terlupa. Di lereng Lawu yang berhawa segar, udara bebas mengalir tanpa batas — seolah mengajak kita bernapas lebih lapang, lebih jernih. (mac)

“Di sini, anak-anak tidak hanya belajar memasak, tetapi belajar bersabar,” ujar seorang pembina Pramuka yang tengah mengaduk air di dapur umum. Ia menunjuk ke deretan tenda yang berdiri di atas alas semen, kokoh meski semalam hujan turun seperti ujian ketahanan. Di sudut lain, ada sebuah pondok kecil. Malam hari, tempat itu berubah menjadi aula dadakan—ruang pertemuan, ruang diskusi, ruang untuk merayakan diam. Dari lantai atasnya, Gunung Lawu tampak teguh, memantulkan cahaya pagi seperti kilau harapan.

Waktu yang melambat di Berjo
Tak seperti bumi perkemahan modern dengan lampu terang dan musik digital, Al Amin justru menawar­kan keteduhan. Malam hari, hanya suara jangkrik yang mengisi celah waktu. Langit gelap menjadi kanvas tempat bintang-bintang menempelkan kisah lama.

Di sini, waktu tak terburu-buru.
Di sini, orang diajak duduk dan mendengar—bukan hanya mendengar narasumber, bukan hanya mendengar instruksi—tapi mendengar dirinya sendiri.

Kesunyian yang menyembuhkan

Di tempat terbuka seperti ini, lelah tak lagi terasa berat; ia luluh bersama hembusan angin, digantikan oleh senyum, ketenangan yang pelan-pelan kembali memenuhi jiwa.(mac)

Pernah, di masa pandemi, tempat ini menjadi ruang karantina pemudik. Betapa ironis—atau justru indah—bahwa alam yang biasanya menjadi latar tawa kemah, berubah menjadi tempat isolasi. Tapi isolasi di sini bukan hukuman. Ia menjadi jeda. Menjadi ruang hening untuk pulang ke dalam diri.

Bumi Perkemahan Al Amin seperti mengingatkan:
Kadang, satu-satunya yang kita butuhkan hanyalah ruang terbuka dan udara bersih untuk menyembuhkan.

Warisan yang pelan-pelan bertumbuh
Kaki-kaki kecil para siswa, tapak sepatu hiking para pembina, dan langkah gontai orang dewasa yang stres oleh rutinitas—semuanya pernah meninggalkan jejak di sini.

Dan setiap jejak itu berbicara, tanpa suara:

Bahwa hidup tak harus selalu berlari.
Bahwa diam pun bisa menjadi perjalanan.
Bahwa gunung, hutan, dan kabut kadang lebih mampu mendidik, daripada layar dan bahan ajar.

Di Berjo, Bumi Perkemahan Al Amin bukan sekadar lokasi. Ia adalah pengalaman.
Ia adalah jeda dalam cerita panjang kehidupan.
Ia adalah ruang belajar, tanpa dinding, tanpa batas.

Dan seperti segala yang tumbuh alami dalam sunyi, ia tetap ada—menunggu siapa saja yang ingin pulang sejenak kepada alam, dan kepada dirinya sendiri. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments