Bisikan Senja di Ratu Boko
LESINDO.COM- Langit sore di Yogyakarta perlahan berubah warna. Di atas perbukitan selatan Prambanan, sinar matahari mulai redup, menyentuh lembut batu-batu kuno yang berdiri kokoh di situs Ratu Boko. Angin berhembus pelan, membawa aroma rumput dan tanah yang hangat. Di antara suara serangga dan langkah kaki pengunjung, sejarah seakan berbisik dari masa lampau. Ratu Boko bukan sekadar reruntuhan batu. Ia adalah saksi bisu perjalanan panjang kebudayaan Jawa. Dulu, tempat ini diyakini sebagai istana megah milik Raja Boko — sosok legendaris yang dalam kisah rakyat menjadi ayah Roro Jonggrang. Kini, sisa-sisa gerbang dan pilar batu menjadi penanda keagungan masa lalu yang masih menyisakan misteri.
Di pelataran utama, beberapa wisatawan duduk diam menanti matahari terbenam. Cahaya jingga menembus celah gerbang, menciptakan siluet yang menawan. Seorang fotografer muda berjongkok, menunggu momen sempurna ketika langit berubah warna menjadi keemasan. “Setiap senja di sini selalu berbeda,” katanya sambil tersenyum, “seolah ada kehidupan di balik batu-batu tua ini.”

Di sudut lain, seorang pemandu lokal menceritakan kisah Roro Jonggrang dengan nada lembut. Anak-anak yang mendengarnya memandang kagum ke arah reruntuhan, seakan bisa membayangkan istana megah berdiri kembali di hadapan mereka. Legenda itu bukan sekadar cerita cinta dan kutukan, tetapi juga simbol tentang kesetiaan dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ratu Boko menyimpan banyak tanda tanya. Para arkeolog masih memperdebatkan apakah tempat ini dulunya keraton, biara, atau benteng pertahanan. Namun bagi masyarakat Yogyakarta, ia adalah ruang spiritual tempat di mana manusia, sejarah, dan alam berpadu menjadi satu kesatuan yang tenang dan penuh makna.
Ketika matahari akhirnya tenggelam, langit berubah ungu kehitaman. Bayangan gerbang Ratu Boko berdiri tegak melawan waktu. Di sanalah keheningan mengambil alih, meninggalkan kesan bahwa setiap batu memiliki cerita, setiap senja menyimpan kenangan. Ratu Boko tetap berdiri, menjadi saksi diam perjalanan masa menunggu siapa pun yang ingin mendengar bisikan sejarah di antara senja dan angin.
Nama Ratu Boko berasal dari dua kata: “Ratu” yang berarti raja atau penguasa, dan “Boko” yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti burung garuda, namun juga dikenal sebagai nama tokoh dalam legenda rakyat Jawa. Menurut cerita rakyat, Ratu Boko adalah raja dari Kerajaan Pengging, sekaligus ayah Roro Jonggrang, tokoh dalam legenda Candi Prambanan. Dalam kisah itu, Ratu Boko digambarkan sebagai raja yang gagah dan sakti, namun akhirnya dikalahkan oleh Bandung Bondowoso. Setelah kekalahannya, konon istana megahnya hancur dan meninggalkan puing-puing batu yang kini dikenal sebagai Situs Ratu Boko.
Namun dalam kajian arkeologi, nama “Ratu Boko” baru dikenal setelah masa kerajaan Mataram Kuno. Nama ini muncul dari penafsiran masyarakat setempat terhadap legenda, bukan dari prasasti asli masa kuno. Para ahli berpendapat bahwa kompleks Ratu Boko dulunya mungkin bukan istana seorang raja perempuan, melainkan kompleks kerajaan atau tempat pemujaan Hindu–Buddha yang berfungsi sebagai tempat tinggal bangsawan atau tokoh spiritual penting. Jadi, sebutan “Ratu Boko” merupakan hasil perpaduan antara sejarah dan legenda nama yang lahir dari ingatan rakyat terhadap sosok raja mitologis yang dianggap pernah berkuasa di tempat itu. (Hib)

