Oleh Redaksi Humaniora
Masa-masa belajar dari SD hingga bangku kuliah selalu meninggalkan kenangan tersendiri. Saya masih ingat betul bagaimana teman-teman di kelas tampak begitu cepat menangkap pelajaran. Gurunya sama, ruang kelasnya sama, bahkan sekolahnya pun sama. Bedanya hanya pada uang saku — itu pun kadang tidak seberapa. Saat itu saya belum memahami apa yang sebenarnya disebut belajar. Yang saya tahu hanyalah mengenakan seragam, membawa buku, dan hadir dengan rajin di kelas. Tidak lebih dari itu.
Namun dari masa itu saya sering bertanya-tanya, kenapa ada orang yang tampak “encer”, cepat sekali memahami pelajaran, sementara yang lain perlu waktu lebih lama. Apakah mereka memang lebih rajin, atau memang sudah dikaruniai anugerah kecerdasan lebih oleh Gusti Allah?
Seiring waktu, saya mulai memahami bahwa kesuksesan seseorang tidak bisa diukur dari angka-angka di rapor atau ijazah semata. Nilai akademik hanyalah satu bentuk ukuran dari banyak kecerdasan yang dimiliki manusia. Howard Gardner, seorang psikolog dari Universitas Harvard, pada tahun 1983 memperkenalkan teori Multiple Intelligences — bahwa kecerdasan manusia tidak tunggal, melainkan beragam. Ada kecerdasan linguistik, logika-matematika, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, hingga spiritual. Artinya, setiap orang memiliki bakat dan keunggulan dalam bidangnya masing-masing.
Saya teringat dua sahabat lama — Haji Bakri dan Slamet Riyadi.
Haji Bakri, teman sebangku semasa sekolah, mungkin bukan bintang kelas dari sisi nilai. Soal-soal sulit kadang membuatnya menyerah lebih cepat. Namun siapa sangka, kini ia menjadi pengusaha sukses, seorang miliarder yang lihai membaca peluang dan mengelola jaringan. Di bidang perdagangan, ia membuktikan bahwa kecerdasan praktis dan insting bisnis tak kalah penting dari kecerdasan akademik.

Begitu pula dengan Mas Slamet Riyadi, teman semasa kuliah. Mungkin saat kuliah dulu, ia tampak biasa saja. Tidak selalu menonjol dalam nilai ujian, bahkan kadang datang kuliah seperti hanya “melintas lalu.” Namun kini, ia dikenal sebagai pelopor dan motivator urban farming di Kota Malang. Kecerdasannya bukan di papan tulis, tetapi di masyarakat — kemampuan berkomunikasi, membangun jejaring, dan memotivasi orang lain agar mau berbuat baik bagi lingkungan. Ia memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, yang kini menjadi fondasi keberhasilannya.
Menurut riset World Economic Forum (WEF) tahun 2023, kecerdasan sosial, kreativitas, dan kemampuan adaptasi justru menjadi tiga keterampilan utama yang menentukan kesuksesan seseorang di era modern. Artinya, orang yang unggul bukan hanya yang cerdas di ruang kelas, tetapi yang mampu beradaptasi, bekerja sama, dan berempati terhadap sesama.
Satu hal yang saya perhatikan dari orang-orang yang berhasil di bidangnya adalah karakter baik yang melekat kuat. Mereka tulus menolong, tidak tega melihat orang lain kesulitan, dan yang terpenting — mereka berbakti kepada orang tuanya. Karakter seperti inilah yang menjadi pondasi keberhasilan sejati. Karena sehebat apa pun seseorang, tanpa karakter baik, kesuksesan akan mudah rapuh.
Pada akhirnya, kita semua memang telah dibekali dengan potensi yang berbeda-beda. Tugas kita bukanlah meniru kehebatan orang lain, melainkan menggali dan memaksimalkan potensi diri sendiri. Karena seperti kata pepatah, “Tidak ada ikan yang pandai terbang, dan tidak ada burung yang pandai berenang, tetapi keduanya hebat di tempatnya masing-masing.”


