spot_img
BerandaBudayaSenyum di Balik Keriput: Kisah Lelaki Tua dari Sebuah Kampung Sederhana

Senyum di Balik Keriput: Kisah Lelaki Tua dari Sebuah Kampung Sederhana

Hidup baginya adalah siklus sederhana: bekerja, pulang, lalu berkumpul dengan keluarga. Tidak ada keluhan berlebihan, tidak ada ambisi untuk menumpuk harta. Ketika ditanya apakah ia pernah merasa iri dengan orang kaya, matanya berbinar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

LESINDO.COM – Di sebuah kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, sore itu udara berembus hangat dari jendela kayu yang terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma kopi hitam menyelimuti ruangan sederhana. Lampu dinding merah di pojok kamar menyala temaram, menambah kesan intim.

Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tua berambut panjang keperakan. Tubuhnya kurus, kulitnya legam, dan garis-garis wajahnya tegas. Namun, senyumnya lebar, jujur, dan menular membuat siapa pun yang menatapnya ikut merasa ringan. Ia bukan pejabat, bukan pula orang kaya. Ia hanyalah seorang lelaki kampung yang sudah menelan asam garam kehidupan. “Orang bilang saya keras kepala,” ujarnya sambil terkekeh. “Padahal saya cuma percaya, hidup ini lebih gampang kalau dijalani dengan senyum.”

Sejak muda, lelaki itu terbiasa berpindah-pindah pekerjaan. Ia pernah jadi kuli bangunan di kota, jadi buruh kebun, bahkan penah bekerja di bengkel. Tangannya kasar, penuh bekas luka kerja, tapi justru itulah bukti dari keteguhan dan kerja keras. “Kalau capek, ya sudah. Tidur. Besok kerja lagi. Yang penting anak-anak bisa makan,” tuturnya.

Tubuhnya kurus berotot, bekas kerja keras sepanjang hidup dan senyum melebar dan hidup dalam kesederhanaan. (mac)

Hidup baginya adalah siklus sederhana: bekerja, pulang, lalu berkumpul dengan keluarga. Tidak ada keluhan berlebihan, tidak ada ambisi untuk menumpuk harta. Ketika ditanya apakah ia pernah merasa iri dengan orang kaya, matanya berbinar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
“Ngapain iri? Orang kaya makan nasi, saya juga makan nasi. Mereka tidur di kasur empuk, saya di tikar. Sama-sama bisa tidur, kan? Bedanya cuma gaya.”

Jawaban itu terdengar sederhana, tapi dalam. Filosofi yang ia pegang: bahagia bukan tentang berapa banyak yang dimiliki, melainkan seberapa besar rasa syukur dijaga. Di sudut ruangan, tampak seorang pria muda dan seorang anak remaja duduk diam, mendengarkan. Mereka adalah anak dan cucunya, penerus garis keluarga yang belajar langsung dari kebijaksanaan sederhana sang ayah. “Saya selalu bilang ke anak-anak,” lanjutnya, “jangan lupa bersyukur. Hidup ini cuma sekali. Kalau sibuk hitung kekurangan, waktumu habis. Kalau sibuk hitung syukur, kamu nggak akan pernah merasa miskin.”

Bagi banyak orang, lelaki tua itu mungkin hanyalah orang biasa. Namun, di balik keriput wajahnya tersimpan pelajaran yang tak ternilai: senyum adalah kekuatan, syukur adalah harta, dan kesederhanaan adalah kebahagiaan. Dan sore itu, senyumnya yang lebar kembali mengembang, seolah menutup percakapan dengan pesan : “Bahagia itu sederhana. Sesederhana tersenyum.” (mac)

 

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments