LESINDO.COM — 20 Oktober 2025, di depan Balai Kota Malang yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan dan aktivitas warga, pagi itu suasana mendadak berubah menjadi haru. Seorang pria paruh baya ditemukan tak bernyawa di atas becaknya, dengan posisi seolah tengah beristirahat. Kaos oranye yang dikenakannya masih basah oleh peluh. Di sisi becak, topinya miring menutupi sebagian wajah — tidur panjang setelah kayuhan panjang kehidupan.
Pria itu diketahui merupakan tukang becak yang biasa mangkal di sekitar kawasan Alun-Alun Tugu. Setiap hari ia mengayuh becak tuanya, menawarkan jasa pada siapa saja yang sudi menumpang. Tubuhnya yang mulai renta tak menghalangi semangatnya untuk terus mencari nafkah. Namun, siapa sangka, di kursi becak yang selama ini menjadi sumber penghidupannya, justru di sanalah napas terakhirnya terhembus.
Menurut keterangan warga, sosok tersebut sudah terlihat terlelap sejak pagi. “Awalnya kami kira beliau cuma tidur, mungkin capek habis narik,” ujar Budi Santoso, salah satu pedagang kaki lima di sekitar lokasi. “Tapi setelah dipanggil beberapa kali tidak bangun, kami mulai curiga dan memanggil petugas.”
Petugas Satpol PP yang datang ke lokasi memastikan bahwa pria itu telah meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan awal, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Diduga ia meninggal karena kelelahan dan kondisi tubuh yang menurun akibat usia.
“Beliau sudah lama narik di sekitar sini. Orangnya ramah, tidak pernah mengeluh. Kadang kalau nggak dapat penumpang, masih sempat bantu dorong becak temannya yang mogok,” kenang Suparno, rekan sesama tukang becak dengan mata berkaca-kaca.
Bagi banyak orang, becak hanyalah alat transportasi tradisional yang kian tersisih oleh zaman. Namun bagi pria ini, becak adalah bagian dari hidup — roda rezeki yang ia kayuh setiap hari, meski usia sudah tidak muda lagi.
Di tengah kota yang terus berlari menuju modernitas, ia tetap bertahan dengan cara yang sederhana: bekerja, berpeluh, dan bersyukur atas setiap rupiah yang dikumpulkan.
Kini becak itu terparkir diam di depan Balai Kota — menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tak lagi berlanjut. Di sanalah ia menutup hari-harinya, bukan dengan keluh, tapi dengan tenang. Seolah ingin berkata bahwa hidup yang berat pun akhirnya akan menemukan tempat untuk beristirahat.
“Beliau meninggal dalam posisi tidur di becak. Mungkin itulah tempat yang paling beliau kenal, tempatnya bekerja, berjuang, dan akhirnya beristirahat,” ujar salah satu petugas sambil menunduk.
Kisah tukang becak ini menjadi pengingat — bahwa di balik roda besi dan peluh yang menetes, ada manusia-manusia yang terus berjuang, diam-diam menanggung lelah demi kehidupan yang layak. Dan di suatu pagi di kota Malang, seorang di antara mereka akhirnya pulang — di atas becak yang menjadi saksi hidup dan matinya. (Ina)