LESINDO.COM – Matahari mulai meninggi di langit Magelang. Di puncak Candi Borobudur, ratusan stupa berdiri kokoh seolah menantang waktu. Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatian pengunjung: upaya mereka menjulurkan tangan ke celah-celah batu untuk meraih arca Buddha di dalam stupa. “Katanya kalau bisa menyentuh, keinginan kita bakal terkabul,” ujar Sari, siswi SMA asal Semarang, sambil tertawa kecil. Ia baru saja berhasil menyentuh arca setelah berkali-kali berusaha. Wajahnya masih berbinar, seolah sentuhan singkat itu memberi energi baru. “Saya berharap bisa lulus ujian dengan nilai bagus,” tambahnya.
Di dekatnya, seorang bapak paruh baya tampak serius memasukkan tangan. Setelah beberapa detik, ia menarik kembali lengannya sambil tersenyum. “Saya minta kesehatan untuk keluarga,” ujarnya pelan. Baginya, ritual itu bukan sekadar permainan, tapi doa yang diam-diam dititipkan pada keheningan candi. Keyakinan tentang “stupa keberuntungan” tidak pernah tercatat dalam kitab-kitab Buddhis. Namun, menurut Dr. Agus Wicaksono, arkeolog sekaligus pemerhati Borobudur, fenomena ini adalah bentuk folklor modern yang lahir dari pertemuan antara mitos lokal dan rasa kagum terhadap candi.

“Borobudur sejak lama menjadi ruang kontemplasi. Masyarakat awam yang datang membawa doa dan harapan, lalu menemukan simbol-simbol sakral. Dari situlah keyakinan seperti ini tumbuh. Ia bukan bagian resmi ajaran, tapi bagian dari cara manusia menghidupkan ruang sakral,” jelas Agus. Bagi pengelola Borobudur, keyakinan ini menjadi dilema. Di satu sisi, tradisi lisan tersebut menambah daya tarik dan memperkuat ikatan emosional pengunjung dengan candi. Namun di sisi lain, menyentuh arca berulang kali bisa mempercepat kerusakan batu yang sudah berusia lebih dari seribu tahun.
Karena itu, imbauan untuk tidak memanjat dan menyentuh stupa sering ditemui di sekitar candi. Meski demikian, banyak wisatawan tetap penasaran, seolah ritual ini menjadi “wajib coba” setiap kali mereka datang.Terlepas dari benar atau tidaknya, mitos ini memperlihatkan bahwa Borobudur bukan hanya tumpukan batu bersejarah. Ia adalah ruang hidup yang terus berdialog dengan manusia. Setiap tangan yang masuk ke celah stupa, setiap doa yang dibisikkan, memperkaya makna candi sebagai warisan budaya sekaligus ruang spiritual.
“Orang datang ke sini tidak hanya untuk melihat arsitektur, tapi juga untuk merasakan sesuatu. Sentuhan itu simbolis sebuah cara manusia menjangkau harapan,” tambah Dr. Agus. Borobudur, dengan segala keagungannya, akhirnya tidak hanya menyimpan kisah masa lalu, tapi juga menjadi wadah doa-doa masa kini. Dan di balik setiap stupa, tersimpan bukan hanya arca Buddha, melainkan keyakinan manusia yang sederhana: bahwa harapan, sekecil apa pun, layak untuk disentuh. (Din)