LESINDO.COM – Menjelang sore, Kuta selalu menjadi ruang perjumpaan yang tidak hanya mempertemukan wisatawan dengan pesona alam, tetapi juga menyatukan napas budaya—Jawa yang halus, Bali yang penuh simbol—dalam satu garis pantai yang menampung langkah manusia dari berbagai penjuru.
Ketika matahari mulai miring, ribuan pengunjung berdatangan. Jalanan kecil di sekitar pantai dipenuhi kendaraan yang merayap pelan, seolah mengikuti irama alam yang bersiap lingsir. Bagi masyarakat Bali, pergantian dari terang menuju gelap bukan sekadar fenomena waktu, tetapi bagian dari siklus yang dihormati.
Made Wirata, pemandu wisata asal Legian, menjelaskan hal itu dengan ramah.
“Senja itu waktu yang disucikan. Orang Bali menyebutnya sandhya. Matahari turun, energi berubah. Banyak yang percaya ini saat tubuh dan pikiran perlu menjadi lebih tenang,” ungkapnya.
Di bibir pantai, suasana itu terasa. Anak-anak berlari mengejar ombak kecil, namun gelak mereka perlahan mereda ketika cahaya keemasan turun merata. Pasangan muda berhenti berfoto sejenak, memandang langit yang perlahan berubah menjadi oranye pekat. Di kejauhan, terdengar gamelan dari pura kecil dekat jalan utama, suara lembutnya seolah ikut mengiringi matahari pulang.
Sementara itu, bagi sebagian pengunjung dari Jawa, momen ini sering dianggap waktu untuk “ngening” — menenangkan hati. Seorang wisatawan asal Yogyakarta, Pak Gunawan, yang sore itu duduk menatap laut sambil memegangi sandalnya, berkata pelan,
“Wong Jawa itu terbiasa maca tandha-tandha alam. Senja itu tandha supaya kita eling… eling yen urip kudu mawas lan ora kesusu.”
(“Orang Jawa itu terbiasa membaca tanda-tanda alam. Senja itu tanda agar kita ingat… bahwa hidup perlu mawas diri dan tidak tergesa.”)
Cahaya keemasan yang memantul di permukaan air tampak seperti lembaran perunggu yang dibentangkan di hadapan manusia. Setiap siluet—entah wisatawan asing, ibu yang menggendong anak, atau pedagang lokal—merasa menjadi bagian kecil dari harmoni besar antara alam dan budaya. Sebuah harmoni yang, dalam tradisi Bali, disebut sebagai nyegara gunung: keseimbangan antara laut dan gunung, antara dunia luar dan dunia batin.
Sulastri, pedagang jagung bakar yang sudah dua puluh tahun berjualan di Kuta, melihat sendiri bagaimana orang-orang terdiam ketika cahaya mulai merembes di sela awan.
“Kadang saya juga ikut ndelok langit itu. Rasane adem, Mas. Kaya diajak ngendhaleni pikirane sakdermo,” ujarnya.
(“Kadang saya juga ikut melihat langit itu. Rasanya adem, Mas. Seperti diajak menenangkan pikiran sebentar saja.”)
Saat matahari akhirnya menyentuh garis laut, beberapa turis bule menepuk tangan—tradisi kecil yang sudah lama menjadi bagian dari sore Kuta. Meski bukan tradisi lokal, masyarakat setempat melihatnya sebagai bentuk syukur yang berbeda bahasa namun sejiwa.
Senja pun perlahan padam. Tetapi di hati setiap orang yang berdiri di pasir Kuta, ada rasa yang tinggal: bahwa keindahan bukan hanya milik mata, melainkan juga milik batin. Bahwa budaya—Jawa maupun Bali—mengajarkan hal yang sama:
ada waktu untuk bergerak, dan ada waktu untuk diam, menatap cahaya pulang.
Kute di sore hari laur biasa banyak penguunjung yang memadti kute sehingga jalan penuh sesak apalagi memasuki area Pantai sepanjang memata memandang di pinggi Pantai nampak pengjung yang berada di bibir panatai untuk sekedar bermain air dan berfoto-foto.
Dan banyak yang duduk-duduk menikmato desiran angin dan ombak yang lembut dan pelan sambil menunggu matahari terbenam itu yang di tunggu-tunggu untuk sekedar mendpatakan foto yang paling cantik antara garis Pantai dengan matahari yang akan meninggalkan sore hari sehingga Cahaya yang di pantu;lan sungguh indah. (Gde)

