spot_img
BerandaBudayaSenja di Candi Plaosan: Jejak Cinta di Balik Batu yang Abadi

Senja di Candi Plaosan: Jejak Cinta di Balik Batu yang Abadi

Plaosan bukan sekadar tempat pemujaan, tetapi juga monumen kasih dan toleransi. Dua candi utamanya — Plaosan Lor dan Plaosan Kidul — berdiri berdampingan, seolah mencerminkan dua hati yang berpadu tanpa harus saling meniadakan. Relief-relief yang terpahat di dinding menceritakan kelembutan: wajah-wajah penuh kasih, postur yang tenang, dan hiasan bunga yang melambangkan ketulusan

LESINDO.COM – Sore itu, matahari belum sepenuhnya bersahabat. Panas masih menyelimuti udara, namun langkah kaki terus membawa menuju pelataran Candi Plaosan yang tenang. Batu-batu purba berserakan di tanah hijau, sebagian sudah tersusun rapi, sebagian lainnya masih mencari pasangannya — seperti potongan sejarah yang menunggu untuk kembali utuh.

Di hadapan berdiri megah Candi Plaosan, peninggalan masa lalu yang menyimpan kisah spiritual dan romantika masa silam. Meski namanya tak sepopuler Prambanan yang hanya berjarak beberapa kilometer, Plaosan memiliki pesona yang tak kalah memikat. Dinding-dindingnya yang kokoh penuh relief halus, menceritakan tentang kehidupan, kebajikan, dan keyakinan yang membentuk peradaban Jawa kuno.

Namun, di balik batu-batu yang dingin itu, tersimpan kisah hangat tentang cinta dua insan dari dua keyakinan berbeda: Rakai Pikatan, seorang raja dari wangsa Sanjaya penganut agama Hindu, dan Ratu Pramodhawardhani, putri dari wangsa Syailendra yang beragama Buddha.
Konon, Candi Plaosan dibangun sebagai ungkapan cinta sang ratu kepada suaminya, sekaligus sebagai simbol perdamaian antara dua keyakinan besar yang sempat bersaing di tanah Jawa.

Bangunan utama Candi Plaosan tampak megah dengan arsitektur khas abad ke-9, menampilkan relief halus dan bentuk simetris yang indah. Di sekelilingnya, masih terlihat tumpukan batu-batu reruntuhan dari candi-candi kecil yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dan kebesaran masa lalu. (mac)

Plaosan bukan sekadar tempat pemujaan, tetapi juga monumen kasih dan toleransi. Dua candi utamanya — Plaosan Lor dan Plaosan Kidul — berdiri berdampingan, seolah mencerminkan dua hati yang berpadu tanpa harus saling meniadakan. Relief-relief yang terpahat di dinding menceritakan kelembutan: wajah-wajah penuh kasih, postur yang tenang, dan hiasan bunga yang melambangkan ketulusan. Semua itu berbeda dari candi-candi lain yang lebih menonjolkan kisah peperangan atau keperkasaan dewa.

Saat matahari perlahan condong ke barat, cahaya senja menyelimuti batu-batu andesit yang mulai berwarna keemasan. Bayangan panjang candi menari di atas rerumputan hijau, menciptakan suasana magis yang tak mudah dilupakan. Angin sore membawa aroma tanah dan dedaunan, menambah kesyahduan bagi siapa pun yang melangkah di antara sisa-sisa sejarah ini.

Bagi para pengunjung, Plaosan bukan hanya tempat untuk berfoto atau berwisata sejarah, tetapi juga tempat untuk merenung tentang makna kebersamaan dan keberagaman. Di tengah dunia yang kadang terpecah oleh perbedaan, Candi Plaosan menjadi pengingat bahwa harmoni bisa tercipta jika cinta dan saling pengertian dijadikan dasar.

Kini, di bawah langit yang mulai berwarna lembayung, Plaosan tetap berdiri — tenang, megah, dan penuh makna. Ia menjadi saksi bisu perjalanan waktu, menyimpan cerita cinta dan toleransi yang melampaui abad. Batu-batunya mungkin diam, namun dalam diam itu tersimpan pesan abadi:
bahwa cinta sejati tak pernah memisahkan, melainkan menyatukan — bahkan di antara dua dunia yang berbeda. (Osy)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments