spot_img
BerandaHumanioraSeni Merawat Batin di Era Segala Sesuatu Harus Tampak Baik

Seni Merawat Batin di Era Segala Sesuatu Harus Tampak Baik

Kehidupan pada dasarnya tetap sama: berita yang membingungkan, komentar pedas di dunia maya, dan ambisi-ambisi baru yang muncul lebih cepat dari napas panjang kita. Namun hati yang telah dibersihkan membuat semuanya terasa lebih bisa ditanggung.

Oleh Rr. Wening Jati 

Di tengah hiruk-pikuk zaman ketika orang berlomba merapikan tampilan luar—dari kulit wajah sampai latar belakang fotonya—ada satu pekerjaan yang justru paling jarang disentuh: memperindah hati. Bukan karena sulit, tapi karena tak ada siapa pun yang bisa melihat hasilnya kecuali diri sendiri. Tidak ada “sebelum-sesudah” yang bisa dipamerkan, tidak ada pujian kilat, tidak pula fitur untuk membandingkan. Pekerjaan macam ini berlangsung diam-diam, seperti orang yang tiap pagi menyapu halaman rumah tanpa perlu memanggil tetangga untuk menyaksikan.

Orang yang merawat hatinya sebenarnya sedang membersihkan ruang batin tempat kedamaian dan harapan bertumbuh. Ruang itu, jika dibiarkan, cepat sekali berdebu oleh keluh, iri, dan perkara-perkara sepele yang entah bagaimana selalu sukses mengacaukan hari. Padahal, ketika hati jernih, hidup membuka dirinya dalam versi yang lebih lembut. Kita mulai peka pada hal-hal kecil: sapaan ramah dari penjual sayur, aroma kopi yang pelan-pelan naik dari dapur, atau matahari pagi yang menembus sela genteng. Seolah hidup yang sama—yang sebelumnya terasa kacau—mendadak punya sudut-sudut hangat yang selama ini tak terlihat.

Namun memperindah hati bukan pekerjaan romantik seperti tampaknya. Ada keberanian yang harus dilakukan, keberanian memilih jalan yang benar meski langkahnya berat dan tidak populer. Mengurus hati itu mirip memperbaiki rumah tua peninggalan simbah: perlu kesabaran, ketelatenan, dan kadang harus menerima kenyataan pahit bahwa beberapa bagian memang harus dibongkar total. Niat harus dirawat, motivasi dipoles ulang, dan pikiran dijaga dari keruhnya prasangka yang suka menyelinap seperti tikus malam. Bukan pekerjaan wangi, tapi hasilnya perlahan menguatkan. Rumah batin menjadi kokoh. Tidak megah, tidak glamor, hanya kuat—cukup untuk membuat penghuninya tidak roboh saat badai hidup datang bertamu tanpa permisi.

Dan lucunya, ketika hati sudah siap, Tuhan sering bekerja dengan cara yang sederhana, bahkan cenderung nyeleneh. Kadang Ia mengirim keajaiban kecil lewat hal-hal yang tidak kita duga: obrolan singkat dengan orang asing, pesan yang datang tepat ketika kita hampir menyerah, atau sekadar perasaan tenang yang tiba-tiba hadir di antara hari yang semrawut. Keajaiban itu tidak dramatis. Tidak ada musik latar. Tidak ada cahaya menyorot seperti di panggung ketoprak. Tapi mereka menjahit kembali harapan kita, benang demi benang, sampai kita sadar bahwa yang berubah bukan dunia—melainkan cara kita melihatnya.

Kehidupan pada dasarnya tetap sama: berita yang membingungkan, komentar pedas di dunia maya, dan ambisi-ambisi baru yang muncul lebih cepat dari napas panjang kita. Namun hati yang telah dibersihkan membuat semuanya terasa lebih bisa ditanggung. Orang menjadi lebih pelan, lebih sabar, lebih manusia. Ia tidak lagi sibuk membalas setiap hal yang mengusik, karena rumah batinnya punya pagar yang cukup kuat untuk menahan angin yang lewat.

Dan di situlah letak keindahan yang sebenarnya. Dari hati yang dirawat dengan ketulusan—meski penuh kerja sunyi, meski tanpa penonton—mengalirlah hidup yang lebih jernih. Bukan hidup yang sempurna, tetapi hidup yang terasa dekat, hangat, manusiawi. Hidup yang, pada akhirnya, tidak perlu dipoles-poles, karena ia sudah indah dari dalam.

Di zaman ketika orang lebih sibuk memperindah wajahnya lewat filter ketimbang membereskan sudut-sudut hatinya yang kusut, ada sebagian kecil manusia yang justru memilih melakukan pekerjaan sunyi: merapikan ruang batin. Mereka menyapu perlahan, menata ulang meja kecil tempat kedamaian dan harapan biasanya duduk berdesakan. Di ruang yang jernih itu, hidup terasa lebih pelan, lebih lembut, dan anehnya—lebih masuk akal. Keheningan yang dulu dianggap membosankan justru menjadi guru yang rajin menunjukkan kebaikan kecil yang sering terlewat karena kita sibuk mengejar hal-hal besar yang belum tentu kita perlukan.

Namun memperindah hati bukan pekerjaan wangi dan cantik seperti iklan-iklan meditasi. Ada keberanian yang harus ditegakkan, keberanian memilih jalan yang benar meski jalurnya kerikil semua dan tak ada tepuk tangan dari siapa pun. Mengurus hati kadang seperti memperbaiki rumah tua: niat harus dirawat, motivasi dipoles berulang-ulang, dan pikiran dijaga agar tidak kecolongan oleh iri, keluh, atau emosi receh yang sering muncul tiba-tiba seperti tamu tak diundang. Tapi justru dari kerja sunyi itulah rumah batin menjadi kuat—bukan megah, hanya kokoh—cukup untuk menahan badai hidup yang datang bergilir tanpa jeda.

Dan ketika rumah itu rapi, bersih, dan cukup lapang untuk ditempati kebaikan, Tuhan sering datang dengan cara yang pelan tapi tepat, mengirimkan keajaiban kecil yang menjahit harapan kita yang sempat robek. Bukan karena dunia mendadak berubah lebih ramah; dunia tetap saja penuh drama dan komentar pedas. Tetapi karena hati yang sudah bening membuatmu sanggup melihat kebaikan yang dulu tertutup gelisahmu sendiri.

Dari hati yang indah, hidup pun ikut menjadi indah—meski tetap harus menghadapi realitas yang kadang absurd. Bedanya, kini engkau menjalani semuanya dengan dada yang lebih lega, dan senyum yang tak perlu filter.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments