Oleh You Srie
Hidup, katanya, adalah perjalanan. Ungkapan itu terdengar indah—setara kutipan kalender dinding yang dipasang di ruang tamu. Tapi jika kita jujur, hidup lebih mirip rute angkot yang suka berhenti mendadak: tidak jelas arahnya, penumpangnya berganti-ganti, dan kadang sopirnya seperti sedang uji nyali. Ada hari ketika jalanan terasa lengang, dan ada hari ketika semesta seperti sengaja meletakkan seluruh batu kerikil tepat di jalur yang kita pilih.
Kegagalan, dalam kenyataannya, jauh lebih sering mampir daripada keberhasilan. Ia datang dengan santai, tanpa permisi, seperti tetangga yang suka meminjam gula. Kita sudah berusaha keras, merencanakan dengan rapi, bahkan mengkhayalkan hasil terbaik—tapi tetap saja realitas sering menjentikkan dahi kita dan berkata, “Coba lagi, manusia.”
Orang-orang bijak bilang, “Jangan takut gagal.” Saran yang terdengar sangat mulia, terutama dari mereka yang sudah duduk nyaman di kursi empuk keberhasilan. Mereka lupa bahwa bagi sebagian orang, kegagalan itu seperti hujan di musim penghujan: turun tiap hari tanpa aba-aba. Kita mencoba bangkit, jatuh; mencoba lagi, jatuh lagi; dan entah mengapa, jatuhnya lebih sering daripada bangunnya.
Namun begitulah ironi hidup. Tumpukan kegagalan yang semula membuat kita ingin menyerah, ternyata pelan-pelan membentuk otot ketahanan yang tidak terlihat. Rasa sakit yang dulu membuat kita ingin berbaring saja sehari penuh, justru menjadi cerita yang suatu saat bisa diceritakan sambil tersenyum tipis—meski dulu rasanya ingin hilang dari peredaran.
Dan uniknya, cukup satu keberhasilan kecil saja—sekecil menemukan pintu keluar di lorong gelap—mendadak semua kegagalan itu berubah wujud. Yang dulu terasa memalukan, tiba-tiba dianggap sebagai “proses pendewasaan”. Luka yang dulu ingin disembunyikan, berubah menjadi lencana pengalaman. Kita mungkin belum sepenuhnya menang, tapi setidaknya bisa berkata, “Ternyata aku tidak berjalan sia-sia.”
Kegagalan itu bukan musuh; ia hanya guru dengan metode mengajar yang brutal. Ia menampar kita berkali-kali sampai paham. Ia memaksa kita berhenti sejenak, meninjau ulang langkah, dan kadang mengubah arah yang selama ini kita yakini benar. Tanpa kegagalan, kita bisa terjebak dalam zona nyaman yang membosankan—menjalani hidup tanpa benar-benar hidup.
Hidup memang lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Dan itu wajar. Manusia bukan mesin pencetak kemenangan. Kita adalah makhluk yang belajar lewat tersandung, bukan lewat ceramah motivasi lima menit. Selama kita tidak menyerah—meski jalannya pincang dan napasnya ngos-ngosan—selalu ada peluang satu keberhasilan kecil itu muncul sebagai pembuktian.
Jadi kalau hari ini gagal lagi, tidak perlu panik. Dunia belum runtuh; cuma rencana kita saja yang retak sedikit. Besok masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Atau kalau gagal lagi, ya sudah—anggap saja sedang menambah koleksi pengalaman. Toh nanti saat satu keberhasilan datang, kita bisa dengan bangga mengatakan:
“Semua kegagalan itu ternyata tidak sia-sia.”
Karena pada akhirnya, yang terpenting bukan berapa kali kita jatuh, tapi seberapa sering kita tetap memilih untuk berjalan—meski hidup sering kali memperlakukan kita seperti karakter figuran dalam drama komedi satir.
Kita sering diajari bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang penuh peluang. Kenyataannya? Lebih mirip jalanan berlubang yang dikerjakan setengah hati—kadang mulus, lebih sering bikin mental bocor halus. Kegagalan datang silih berganti seperti tagihan bulanan: tak pernah diundang, tapi selalu tahu alamat.
Orang bilang, “Jangan takut gagal.” Mudah diucapkan, apalagi oleh mereka yang sudah berada di puncak dan lupa bagaimana rasanya jatuh di tangga paling bawah. Padahal, bagi kebanyakan dari kita, jatuh itu sudah seperti hobi: dilakukan berkali-kali sampai ahli. Tapi begitulah hidup—kadang kita perlu remuk dulu supaya tahu bagian mana yang harus disusun ulang.
Namun ada ironi yang menarik: cukup satu keberhasilan kecil saja mampu membuat semua kegagalan panjang itu tiba-tiba tampak “bernilai”. Seolah-olah rasa pahit bertahun-tahun mendadak berubah menjadi kopi mahal. Padahal ya sama pahitnya, hanya wadahnya saja yang lebih berkelas.
Kegagalan bukan akhir. Ia hanya pengingat bahwa kita manusia, bukan mesin produksi keberhasilan. Selama masih mau berjalan—meski terseok, meski diremehkan—selalu ada kemungkinan kita menemukan pintu yang benar.
Jadi kalau hari ini gagal lagi, santai saja. Hidup memang lebih sering menampar daripada memeluk. Tapi cukup satu momen berhasil, dan semua tamparan itu akan terlihat seperti bagian dari “proses pendewasaan”—katanya.
Intinya sederhana:
jangan takut gagal. Hidup sudah cukup melelahkan tanpa harus ditambah rasa takut. Lagipula, kegagalan hanyalah bumbu—tanpa itu, perjalanan kita cuma hambar dan tidak layak dikenang.

