LESINDO.COM – Di setiap pentas wayang kulit, nama Semar selalu muncul dengan kehadiran yang berbeda. Ia tidak menakutkan seperti raksasa, tidak gagah seperti Arjuna, pun tidak berwibawa seperti Batara Guru. Namun justru dari tubuhnya yang tambun, wajah lucu, dan bahasa sederhana, mengalir petuah kehidupan yang tak lekang oleh zaman.
Bagi orang Jawa, Semar bukan sekadar tokoh wayang. Ia hadir seperti nafas dalam kesadaran budaya — sosok yang tidak kelihatan tapi selalu dirasakan.
Dalam banyak keyakinan kejawen, Semar dipercaya sebagai penjaga Tanah Jawa, roh suci yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, antara kekuasaan dan kebenaran.
Konon, Semar adalah penjelmaan dari Sang Hyang Ismaya, dewa yang diusir dari kahyangan karena kesombongannya. Turun ke bumi, ia memilih menjadi rakyat jelata, menjadi pelayan bagi para ksatria — bukan karena hina, tetapi karena hanya dari bawah seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terjadi di atas.

Wujudnya mengundang tawa: tubuh bungkuk, perut besar, mata kecil, bibir selalu tersenyum. Namun di balik kelucuannya, tersimpan kearifan yang meneguhkan hati. Ia tidak berwajah tampan, tapi tutur katanya menenangkan.
Semar adalah simbol bahwa Tuhan dapat hadir dalam bentuk yang tidak disangka-sangka mungkin lewat orang kecil yang bicara jujur di tengah kebohongan. Bagi masyarakat Jawa, Semar bukan sekadar tokoh hiburan wayang, melainkan lambang batin yang waskita. Ia adalah “suara hati nurani” yang menegur ketika manusia kehilangan arah.
Dalam pandangan spiritual Jawa, Semar disebut sebagai pamomong, penjaga yang tak kasat mata.
Ia dipercaya tinggal di gunung, di hutan, atau di tempat sunyi — menjaga keseimbangan tanah dan kehidupan. Ketika alam rusak, manusia lupa pada nilai-nilai luhur, maka Semar dikatakan “menangis dalam diam”.
Beberapa dalang bahkan menyebut, saat lakon wayang berjalan berat dan penuh kekerasan, kemunculan Semar adalah tanda keseimbangan kembali hadir. Ia menertawakan keangkuhan dewa, menasihati ksatria, dan menghibur rakyat — seolah mengingatkan bahwa kebijaksanaan tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari keikhlasan.
Di zaman yang penuh hiruk pikuk, sosok Semar seperti menatap kita dari balik tirai layar wayang: “Apakah engkau masih ingat untuk tertawa dengan hati yang tulus? Apakah engkau masih mau mendengar suara nurani?”
Semar adalah cermin bagi manusia modern yang sering kehilangan arah di tengah kemegahan dunia. Ia mengajarkan kesederhanaan, keseimbangan, dan rasa hormat pada kehidupan. Dalam setiap jiwa orang Jawa — bahkan tanpa sadar — masih hidup sedikit “Semar”: rasa rendah hati, jenaka, dan cinta damai yang tak ingin dunia menjadi kaku.(rai)