LESINDO.COM – Malam masih pekat ketika langkah-langkah pertama menapak jalur pendakian Gunung Andong. Di antara kabut tipis dan desau angin lereng, hanya suara napas dan desir tanah basah yang menjadi teman perjalanan. Lampu-lampu senter menembus gelap, memantulkan cahaya kecil seperti kunang-kunang yang menyusuri tubuh gunung. Setiap langkah adalah ujian: antara napas yang terengah, kaki yang mulai letih, dan kemauan yang terus melangkah. Di sinilah kesabaran diuji — bukan hanya oleh terjalnya tanjakan, tetapi juga oleh pikiran yang kadang ingin menyerah. Namun, rasa lelah itu berubah menjadi semangat, karena ada janji indah menanti di puncak: fajar yang akan membuka cakrawala.
Menjelang subuh, embun menetes dari ujung dedaunan, hawa dingin mulai menusuk tulang, dan langit di timur perlahan menampakkan semburat jingga samar. Saat akhirnya langkah mencapai puncak, suara adzan Subuh menggema dari kejauhan, memecah sunyi di antara awan dan kabut. Suara itu seolah menjadi tanda bahwa perjalanan telah sampai pada titik keseimbangan antara jasmani dan rohani.

Rasa syukur meluap, berpadu dengan keindahan yang sulit digambarkan kata-kata. Dari bawah, Gunung Andong selalu tampak gagah dan menantang. Namun dari atas, pandangan berubah — lembah dan desa terlihat kecil, langit terasa dekat, dan diri seolah menyatu dengan alam. Saat itulah kesadaran tumbuh: bahwa untuk memahami dunia, kita harus mau melihat dari sudut yang berbeda.
Pendakian bukan hanya perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin. Proses menuju puncak mengajarkan ketangguhan, keikhlasan, dan kebijaksanaan. Orang yang pernah menempuh jalan terjal akan lebih berhati-hati dalam ucapan dan tindakan, karena ia tahu setiap langkah memiliki makna.
Dan bila suatu saat kita belum pernah memandang dari sisi lain, jangan terburu menilai bahwa pandangan kita adalah satu-satunya kebenaran. Hidup selalu memberi ruang untuk belajar, untuk menapaki jalan baru, dan untuk menumbuhkan kemanusiaan dalam diri.
Gunung Andong, dengan keheningan puncaknya, telah memberi pelajaran sederhana: bahwa perjalanan menuju ketinggian tidak pernah mudah, namun di sanalah kita belajar arti keseimbangan — antara melihat ke bawah dengan rendah hati, dan menatap ke atas dengan penuh harap. (mac)