Oleh : Rr. Wening Jati
Pagi itu, embun masih menggantung di rumpun padi ketika warga sebuah pedukuhan di kaki Gunung Merapi mulai berdatangan ke balai desa. Mereka membawa ubarampe—tumpeng kuning, hasil panen, jajan pasar, hingga seikat kangkung yang baru dipetik—semua diselimuti niat yang sama: menjalankan laku Sedekah Bumi, sebuah tradisi Jawa yang memadukan rasa syukur, kerendahan batin, dan penghormatan kepada alam.
Dalam batin orang Jawa, bumi bukan sekadar tanah yang ditanami. Ia adalah ibu yang menghidupi. Maka Sedekah Bumi lahir sebagai bentuk terima kasih yang halus, sebagai peringatan diri bahwa manusia hidup bukan hanya karena tenaga dan kecerdikan, tetapi karena restu alam dan rahmat Gusti.
Unggah-ungguh Syukur dalam Cahaya Wulangreh
Sebelum prosesi dimulai, para sesepuh duduk melingkar, memimpin doa dengan suara pelan yang menyerapkan keteduhan. Dalam jeda-jeda doa itu, terngiang ajaran dari Wulangreh, pupuh Pangkur:
“Wong urip iku aja dumeh; aja seneng takabur, ngadiluhur dhiri.”
(Orang hidup jangan merasa berkuasa; jangan suka sombong atau meninggikan diri.)
Ajaran itu menemukan tubuhnya dalam Sedekah Bumi. Warga datang dengan hati merunduk, tidak ada yang merasa lebih karena membawa tumpeng besar, tidak pula yang merasa kurang meski hanya membawa seikat pisang. Semuanya setara di hadapan bumi yang mereka hormati.
Doa yang Meluruhkan Ego
Prosesi doa berlangsung dalam kesunyian yang dalam. Para lelaki menunduk, para ibu memejamkan mata, anak-anak duduk dengan mata membulat diam-diam mengamati. Sesepuh desa melafalkan doa yang sebagian berupa tembang lawas, sebagian lagi pitutur.
Dalam satu bagian, ia mengutip pesan Sunan Kalijaga:
“Urip iku urup.”
(Hidup itu menyala—menjadi manfaat bagi sesama.)
Sedekah Bumi adalah salah satu bentuk “urup” itu. Apa yang tumbuh dari tanah dikembalikan lagi untuk memberi terang pada kehidupan bersama—entah berupa syukur, entah berupa pengingat agar tidak serakah, entah berupa kebersamaan yang menenteramkan.
Arak-arakan yang Menyebar Berkah
Usai doa, warga mengarak tumpeng besar keliling desa. Perjalanan itu tidak terburu-buru, tetapi penuh ritme. Langkah-langkah kaki menyatu, seakan desa bergerak sebagai satu tubuh. Beberapa lelaki tua memanggul obor kecil, sementara anak-anak menari dalam cahaya jingganya.
Arak-arakan itu menyiratkan pesan yang sudah akrab di telinga orang Jawa:
“Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.”
Harmoni menjadikan kehidupan kokoh; perpecahan meruntuhkannya.
Sedekah Bumi mengingatkan kembali: keberkahan tumbuh dari kebersamaan.
Perjamuan sebagai Ruang Rukun
Di halaman balai desa, makanan yang dibawa warga ditata tanpa hirarki. Semua boleh menyentuh; semua boleh mengambil. Tidak ada yang merasa menjadi tamu, tidak pula yang merasa tuan rumah. Yang ada hanya rasa guyub yang menyelimuti seperti selendang halus.
Di sela riuh kecil itu, seorang ibu muda berbisik sambil tersenyum,
“Sing penting barokahé dadi siji. Ora usah timbang-timbang.”
Yang penting keberkahannya menyatu; tak perlu mengukur-ukur.
Dalam laku seperti ini, tampak ajaran Wulangreh yang lain bergema pelan:
“Tepa slira, luwih becik ngalah tinimbang ngundhakake padu.”
(Tepa slira—lebih baik mengalah daripada membesarkan konflik.)
Laku Merawat Bumi yang Aja Kuminter
Sedekah Bumi juga menjadi pengingat ekologis. Orang Jawa percaya, keserakahan manusia adalah awal kerusakan. Pitutur Sunan Kalijaga mengajarkan:
“Aja kuminter mundhak keblinger, aja cidra mundhak cilaka.”
(Jangan merasa paling pintar hingga tersesat; jangan berbuat curang agar tidak celaka.)
Ajaran ini terasa nyata ketika para petani menyentuh tanah seusai doa, seakan berjanji untuk tidak memperlakukannya dengan semena-mena—tidak menanami berlebihan, tidak merusak sumber air, tidak mengambil lebih dari yang perlu.
Tradisi yang Menjaga Manusia Tetap Eling
Ketika semua makanan habis dibagi dan gamelan kembali merendah, warga pulang dengan hati yang lebih jernih. Ada rasa damai yang sulit dijelaskan—seolah mereka baru saja menata kembali hubungan dengan alam, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri.
Sedekah Bumi, dalam keheningan laku Jawa, bukan sekadar upacara. Ia adalah ajaran berjalan:
tentang syukur yang tidak riuh, tentang rendah hati yang tidak dibuat-buat, dan tentang kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari jejaring semesta.
Di situlah pitutur para leluhur menemukan rumahnya—dalam langkah-langkah sederhana orang desa yang merawat bumi sambil merawat jiwanya.

