Oleh Tilottama
Catatan dari Pergeseran Pasar Tradisional
Di balik rak sayuran yang tersusun simetris dan lampu putih swalayan yang dingin, ada sesuatu yang perlahan menghilang: suara manusia.
Pasar swalayan sayur tumbuh sebagai simbol kemajuan—bersih, tertib, dan efisien. Sayur dipajang seperti barang pameran. Harga tercetak rapi. Berat ditentukan timbangan digital. Semua pasti, semua terukur. Di ruang ini, ketidakpastian yang biasa hidup di pasar tradisional disingkirkan.
Namun keteraturan itu menyisakan pertanyaan: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang pelan-pelan ditinggalkan?
Dulu, membeli sayur adalah peristiwa sosial. Ada tawar-menawar yang bukan sekadar soal harga, melainkan relasi. Penjual mengenal pembelinya, tahu kebutuhan, bahkan hafal kebiasaan. Di pasar tradisional, sayur tidak hanya berpindah tangan—cerita dan kepercayaan ikut dipertukarkan.
Kini, hubungan itu diputus. Pembeli mengambil sendiri, menimbang sendiri, dan membayar pada kasir yang tak perlu tahu dari mana sawi itu berasal. Proses menjadi sunyi. Manusia digantikan sistem. Relasi diganti prosedur.

Swalayan menjanjikan kualitas: sayur segar, bersih, dan seragam. Yang layu disingkirkan, yang tak memenuhi standar tak pernah dipajang. Tapi standar ini juga bekerja seperti saringan sosial. Petani kecil dan pedagang pasar yang tak mampu mengikuti rantai distribusi modern perlahan tereliminasi—tanpa pengumuman, tanpa upacara perpisahan.
Di pasar tradisional, sayur yang bentuknya tak sempurna masih bisa laku. Di swalayan, ketidaksempurnaan adalah cacat. Logika pasar modern menuntut estetika, bukan keberlanjutan. Yang kalah bukan hanya sayur yang bengkok, tetapi juga tangan-tangan yang menggantungkan hidup padanya.
Bagi sebagian ibu rumah tangga, swalayan adalah jawaban atas waktu yang kian sempit. Tapi di balik kenyamanan itu, ada biaya sosial yang jarang dihitung. Setiap kantong sayur yang diambil dari rak dingin adalah satu langkah menjauh dari pasar rakyat yang makin sepi.
Pasar tradisional kini bertahan bukan karena dilindungi sistem, melainkan karena kesetiaan segelintir orang. Mereka yang masih percaya bahwa berbelanja bukan sekadar transaksi, melainkan perjumpaan.
Pergeseran ini tidak netral. Ia adalah pilihan kolektif yang membentuk masa depan ruang publik. Ketika pasar tradisional mati, yang hilang bukan hanya tempat jual beli, tetapi juga ekosistem ekonomi kecil yang selama ini menyangga banyak keluarga.
Rak swalayan memang rapi. Tapi di kerapian itu, ada kekosongan yang tak bisa ditimbang dengan angka.

