LESINDO.COM – Di banyak sudut pulau ini, sebuah pemandangan kerap luput dari sorotan wisatawan yang sibuk mengejar matahari terbenam. Pada halaman pura, tepi jalan desa, hingga perempatan sunyi, berdirilah pohon-pohon tua—beringin, kepuh, atau asem—yang batangnya diselimuti kain kotak-kotak hitam-putih. Diam, tapi seperti sedang berbicara sesuatu yang jauh lebih tua dari umur manusia.
Kain itu disebut saput poleng, artefak sederhana yang menyampaikan pesan rumit tentang cara orang Bali memandang hidup. Bagi masyarakat setempat, poleng bukan sekadar dekorasi, melainkan simbol Rwa Bhineda: keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini hadir dalam dua wajah yang saling berdampingan—terang dan gelap, baik dan buruk, halus dan kasar. Hidup, bagi mereka, bergerak dalam negosiasi terus-menerus antara dua kutub itu.
Pada pohon-pohon besar yang dianggap menyimpan energi atau dihuni roh penjaga, saput poleng menjadi semacam “tanda kesopanan”. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menghormati. Pohon-pohon itu tidak hanya hidup di tanah; mereka hidup dalam imajinasi, ingatan, dan tata krama spiritual masyarakat Bali.
Di beberapa tempat, poleng dipadukan dengan payung kuning atau putih, lengkap dengan sesajen yang diletakkan di akar-akar besar yang tampak seperti urat kehidupan. Semua itu menandai bahwa di sana ada ruang yang tak kasatmata: tempat yang diakui suci meski tidak pernah diresmikan.

“Pohon itu seperti kakek tua,” begitu kira-kira ungkapan seorang pemangku di Gianyar. “Ia harus dihormati. Kita hanya lewat.”
Saput poleng akhirnya menjadi jendela kecil untuk memahami kehati-hatian orang Bali dalam memperlakukan alam. Mereka percaya bahwa apa yang besar dan tua—entah itu pohon atau tradisi—layak diberi tempat, diberi kain, dan diberi makna. Tidak dibongkar begitu saja, tidak diperlakukan seperti benda remeh.
Di tengah derasnya modernitas, poleng tetap berkibar tanpa suara. Mengingatkan bahwa dunia ini tidak pernah hanya hitam atau putih, tetapi selalu pertemuan yang tak selesai di antara keduanya.
Sepertinya masyarakat Bali memiliki dimensi yang lain tidak sekedar menghormati menyimpan energi atau dihuni roh penjaga tetapi memiliki harmoni terhadap lingkungan menjaga ekologi merawat pohon-pohon yang tua yang memiliki akar lebih mencengkram ke dalam tanah sehingga menjaga alam lebih lestari menjaga sumber air. Melindungi alam dan lingkungan lebih harmoni. (Dhe)

