LESINDO.COM – Ketika fajar pertama menembus cakrawala di ufuk timur Bali, pantai Sanur menjadi saksi bisu pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Sinar matahari menyapu lembut pasir putih, membangunkan nelayan yang bersiap melaut, sementara wisatawan berdiri terpukau menatap perubahan warna langit. Di balik keindahan itu, Sanur menyimpan perjalanan sejarah panjang yang menjadikannya lebih dari sekadar destinasi wisata ia adalah tempat lahirnya peradaban dan pariwisata Bali.
Dari Prasasti Kuno hingga Pintu Gerbang Peradaban
Nama Sanur sudah tercatat dalam sejarah sejak lebih dari seribu tahun lalu. Di kawasan Blanjong, berdiri tegak Prasasti Blanjong peninggalan Raja Sri Kesari Warmadewa dari tahun 913 Masehi. Ditulis dalam aksara Pranagari dan Bali Kuno, prasasti ini menjadi bukti awal keberadaan kerajaan di Pulau Dewata. “Prasasti Blanjong adalah jendela pertama sejarah Bali,” ujar I Gusti Made Suardana, seorang pemerhati budaya lokal. “Dari sinilah kita tahu bahwa Sanur bukan hanya pantai indah, tapi pusat kegiatan politik dan perdagangan pada masa lampau.”
Gelombang Kolonial dan Jejak Perlawanan
Sanur juga merekam babak kelam sejarah Bali. Pada tahun 1906, pantai ini menjadi tempat pendaratan pasukan Belanda yang memicu Perang Puputan Badung perlawanan heroik rakyat Bali yang menolak tunduk pada kolonialisme. Dari Sanur, pasukan Belanda bergerak menuju Denpasar, dan ratusan pejuang Bali memilih gugur dengan kehormatan daripada menyerah. Kini, ketenangan pantai itu seolah menghapus luka masa lalu. Namun bagi warga Sanur, setiap hembusan angin pagi membawa kenangan tentang keberanian leluhur mereka.
Awal Pariwisata: Dari Studio Seni ke Dunia

Tahun 1930-an menjadi titik balik Sanur. Seorang pelukis Belgia bernama Adrien-Jean Le Mayeur de Merprès tiba dan jatuh cinta pada pesona Sanur serta pada Ni Pollok, penari legong setempat yang kemudian menjadi istrinya sekaligus muse dalam karya-karyanya. Rumah mereka di tepi pantai kini menjadi Museum Le Mayeur, tempat di mana seni Barat dan budaya Bali bersatu dalam harmoni.
Melalui lukisan-lukisannya, nama Sanur dikenal hingga Eropa. Para wisatawan mulai berdatangan, bukan hanya mencari keindahan alam, tetapi juga suasana spiritual dan budaya yang autentik. Dari sinilah Sanur mendapat julukan “The Morning of the World” simbol kebangkitan pariwisata Bali.
Sanur di Era Modern: Antara Tradisi dan Inovasi
Pada tahun 1963, berdiri Hotel Bali Beach (kini Inna Grand Bali Beach), hotel bertingkat pertama di Bali. Bangunan ini menandai awal transformasi Sanur menjadi pusat wisata internasional. Namun berbeda dari Kuta yang berkembang pesat dengan hiburan malam, Sanur memilih jalannya sendiri: tenang, santai, dan penuh kearifan lokal. Kini, Sanur menjadi kawasan yang memadukan kehidupan tradisional dan modern. Nelayan masih berangkat melaut dengan jukung berwarna-warni, sementara di sisi lain, wisatawan menikmati sarapan di tepi laut menyaksikan matahari muncul perlahan dari balik cakrawala.
Fajar yang Tak Pernah Padam
Setiap pagi, sebelum pukul enam, Pantai Matahari Terbit di Sanur sudah dipenuhi aktivitas. Beberapa orang melakukan yoga, sebagian lagi berdoa sambil menata canang sari — sesajen kecil yang menjadi simbol rasa syukur. Di sela itu, para fotografer sibuk membidik cahaya pertama yang menari di permukaan laut. Bagi warga Sanur, matahari terbit bukan hanya keindahan alam, tetapi juga lambang kehidupan. “Kami percaya, setiap fajar membawa energi baru,” tutur Luh Ningsih, pedagang kopi di tepi pantai. “Matahari terbit bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk disyukuri.”
Menjaga Warisan, Menyambut Masa Depan
Sanur kini menghadapi tantangan baru: menjaga keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian budaya. Pembangunan Pelabuhan Sanur sebagai pusat wisata maritim modern menjadi langkah besar yang diharapkan tetap berpihak pada lingkungan dan masyarakat lokal. Meski zaman berubah, semangat Sanur tetap sama — tempat di mana sejarah, budaya, dan alam bersatu di bawah cahaya pagi. Setiap matahari terbit di pantai ini seolah mengingatkan, bahwa masa depan Bali akan selalu berpijar di atas warisan masa lalunya.(dhe)