spot_img
BerandaBudayaSangeh: Hutan Pala dan Bisikan Para Dewa

Sangeh: Hutan Pala dan Bisikan Para Dewa

Di saat banyak tempat wisata berlomba menghadirkan hiburan modern, Sangeh tetap bertahan dengan kesederhanaannya. Tidak ada gemerlap buatan, tidak ada hiruk-pikuk. Yang ada hanya keheningan yang penuh makna. Di sinilah, Bali berbicara dengan bahasa yang lebih tua dari kata-kata—bahasa alam dan jiwa.

LESINDO.COM – Pagi baru saja menyingkap embun ketika langkah kaki memasuki gerbang bertuliskan “Obyek Wisata Sangeh.” Di bawah naungan pohon-pohon tua yang menjulang, udara terasa lebih hidup, lebih damai, seolah setiap hembus angin membawa doa yang terselip di antara dedaunan pala. Dua patung penjaga di kanan-kiri gerbang, dibalut kain kotak hitam putih, berdiri tegak seperti dua penjaga dunia—antara yang nyata dan yang tak kasatmata.

Sangeh bukan sekadar hutan wisata di Kabupaten Badung, Bali. Ia adalah hutan sakral, tempat ratusan kera abu-abu hidup bebas, menjadi bagian dari kisah yang diwariskan turun-temurun. Di sini, alam bukan hanya latar; ia adalah roh, ia adalah kehidupan. Kera-kera itu, dengan mata jenaka dan langkah lincah, menyambut siapa pun yang datang, seolah berkata, “Selamat datang di rumah kami.”

Pepohonan pala di Sangeh tumbuh menjulang hingga puluhan meter, membentuk kanopi alami yang menapis cahaya matahari menjadi butiran lembut di tanah hutan. Konon, pohon-pohon itu berasal dari Gunung Agung dan berpindah sendiri ke tempat ini karena kehendak para dewa. Cerita ini bukan sekadar legenda bagi masyarakat Bali, melainkan keyakinan akan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Di Halaman depan sebelum masuk hutan, Sangeh memiliki daya tarik utama berupa pohon pala berusia ratusan tahun yang tumbuh menjulang tinggi dan dikeramatkan oleh warga setempat. (mac)

Di tengah hutan, berdiri Pura Bukit Sari, peninggalan dari masa Kerajaan Mengwi. Dindingnya berlumut hijau, dihiasi aroma dupa yang samar terbawa angin. Tempat ini menjadi pusat spiritual warga Sangeh—tempat di mana doa, alam, dan tradisi menyatu tanpa sekat. Dalam keheningan pura, seseorang dapat merasakan denyut spiritual yang lembut, mengalun dari bumi menuju langit.

Sangeh adalah simfoni alam dan kepercayaan, di mana suara kera, desir angin, dan lantunan doa membentuk harmoni yang tak tertulis. Setiap langkah di antara pepohonan seakan mengajak kita untuk berhenti sejenak—merenungi betapa kecilnya manusia di hadapan semesta, dan betapa indahnya ketika manusia mau hidup selaras dengannya.

Di saat banyak tempat wisata berlomba menghadirkan hiburan modern, Sangeh tetap bertahan dengan kesederhanaannya. Tidak ada gemerlap buatan, tidak ada hiruk-pikuk. Yang ada hanya keheningan yang penuh makna. Di sinilah, Bali berbicara dengan bahasa yang lebih tua dari kata-kata—bahasa alam dan jiwa.

Sangeh bukan sekadar destinasi, melainkan pengalaman batin. Tempat di mana waktu melambat, udara terasa suci, dan alam berbicara dalam bisikan lembut. Siapa pun yang datang, akan pulang membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika—hanya bisa dirasakan oleh hati yang terbuka. (Dil)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments