spot_img
BerandaBudayaSang Raja Pulang ke Imogiri: Jejak Terakhir Pakubuwono XIII di Tanah Leluhur

Sang Raja Pulang ke Imogiri: Jejak Terakhir Pakubuwono XIII di Tanah Leluhur

LESINDO.COM – Kabut tipis pagi itu menggantung di perbukitan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Embun masih menempel di dedaunan jati, dan udara terasa lembap, seperti menahan napas sebelum upacara sakral dimulai. Di kaki bukit yang menjadi tempat peristirahatan para raja Mataram, ratusan orang sudah berkumpul. Mereka datang dari berbagai penjuru, dari Solo, Klaten, Yogyakarta, hingga luar Jawa — semua ingin menyaksikan perjalanan terakhir seorang raja: Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Hangabehi.

Beliau wafat pada Minggu, 2 November 2025, di usia 76 tahun. Kabar duka itu mengguncang Surakarta. Bagi warga Solo, Sinuhun — begitu beliau disapa — bukan sekadar pemimpin simbolik, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur budaya Jawa di tengah arus zaman yang serba cepat. Dan pada Rabu, 5 November 2025, sang raja akhirnya diantarkan ke peristirahatan terakhirnya di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, mengikuti jejak leluhur yang telah lebih dahulu bersemayam di sana.

Dari Keraton ke Imogiri: Prosesi Penuh Adat dan Haru

Pukul lima pagi, halaman Keraton Surakarta sudah dipenuhi abdi dalem berpakaian lurik hitam. Wajah mereka tegas, tapi mata mereka merah, menahan tangis. Di Bangsal Magangan, jenazah disemayamkan di atas usungan kayu jati berbalut kain putih. Di sekelilingnya, keluarga dan kerabat keraton berdiri melingkar, membaca doa dalam bahasa Jawa halus yang nyaris seperti tembang.

Upacara brobosan menjadi bagian paling menyentuh. Satu per satu anggota keluarga melewati bawah peti jenazah tiga kali sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf terakhir. Tangis pecah tanpa suara.

Sekitar pukul delapan, iring-iringan prosesi dimulai. Di depan, kereta jenazah pusaka ditarik delapan ekor kuda putih, diikuti dua kereta pengiring. Iring-iringan melintasi rute sakral: dari Ndalem Keraton → Bangsal Magangan → Alun-Alun Selatan → Gading → hingga Loji Gandrung.

Ribuan warga berdiri di pinggir jalan, sebagian menundukkan kepala, sebagian melantunkan doa. Tidak ada keramaian, hanya kesunyian yang pekat. Di antara kerumunan, seorang bapak tua berbatik cokelat menatap kereta jenazah yang melintas. “Sak iki Keraton wis ilang cahyané,” katanya lirih — “Kini Keraton telah kehilangan sinarnya.”

Imogiri: Gunung Suci Para Raja

Perjalanan dari Solo ke Imogiri memakan waktu hampir dua jam. Ketika rombongan tiba di gerbang Astana Pajimatan Imogiri, sinar matahari sudah meninggi, tapi hawa sejuk khas pegunungan masih terasa. Di depan tangga batu yang menjulang curam, abdi dalem Imogiri telah bersiap menyambut.

Kompleks makam ini berdiri sejak abad ke-17 atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar Mataram Islam. Nama “Imogiri” berasal dari bahasa Sanskerta Himagiri — gunung bersalju — melambangkan kesucian dan tempat persemayaman roh para raja.

Tangga menuju puncak terdiri dari 409 anak batu, masing-masing diyakini punya makna spiritual. Setiap langkah adalah simbol perjalanan jiwa dari dunia fana menuju alam baka. Di puncak, terbagi dua wilayah besar: sisi barat untuk trah Surakarta, sisi timur untuk trah Yogyakarta.

Suara Hening di Puncak Imogiri

Pakubuwono XIII dikenal sebagai raja yang lembut dan rendah hati. Ia jarang tampil di panggung politik, namun dikenal aktif dalam menjaga budaya Jawa — dari pelestarian upacara adat, wayang, hingga seni tembang keraton. (mac)

Jenazah disalatkan di Masjid Pajimatan yang terletak di kaki bukit, diiringi doa yang bergema lembut di antara tiang kayu jati tua. Setelah itu, peti diangkat perlahan menaiki tangga batu. Empat puluh abdi dalem bergantian memikulnya, dengan langkah perlahan dan penuh takzim.

Tidak ada musik, tidak ada sorak. Hanya desir angin, langkah kaki, dan suara gemerisik dedaunan. Dari kejauhan, suara gamelan dari Keraton Solo yang disiarkan melalui radio terdengar samar-samar — seolah mengiringi perjalanan terakhir rajanya.

Sesampainya di Astana Kasunanan, jenazah dimakamkan di samping makam para Susuhunan terdahulu: Pakubuwono XII dan Pakubuwono X. Upacara penutupan berlangsung singkat namun khidmat. Lonceng keraton di Solo dibunyikan tiga kali, tanda bahwa raja telah bersemayam abadi.

Makna dan Warisan Seorang Raja

Bagi banyak orang, Pakubuwono XIII dikenal sebagai raja yang lembut dan rendah hati. Ia jarang tampil di panggung politik, namun dikenal aktif dalam menjaga budaya Jawa — dari pelestarian upacara adat, wayang, hingga seni tembang keraton.

“Beliau selalu mengingatkan kami, ‘keraton iku dudu mung tembok lan pusaka, nanging roso lan kabecikan’ — keraton bukan hanya dinding dan pusaka, tapi rasa dan kebajikan,” tutur GKR Wandansari Koes Moertiyah, adiknya.

Di bawah kepemimpinannya, berbagai tradisi keraton yang sempat pudar kembali dihidupkan, termasuk kirab pusaka 1 Suro dan pembacaan Serat Wulangreh. Ia juga mendorong generasi muda untuk mengenal bahasa dan etika Jawa.

Meski masa pemerintahannya diwarnai tantangan internal dan dualisme kepemimpinan, Sinuhun tetap memilih jalan damai. “Beliau tidak ingin kekuasaan membawa perpecahan,” kata seorang abdi dalem senior. “Sikap tenangnya menjadi contoh bagaimana seorang pemimpin seharusnya mengalah demi keutuhan.”

Duka dan Harapan dari Rakyat

Kereta seperti ini biasa digunakan dalam upacara adat keraton, terutama untuk mengiringi prosesi pemakaman tokoh penting, seperti PB XIII (Pakubuwono XIII) dari Kasunanan Surakarta. Kereta tersebut akan membawa jenazah menuju Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, yang merupakan tempat pemakaman para raja keturunan Mataram. (mac)

Bagi rakyat Solo, kepergian Sinuhun meninggalkan kekosongan batin. Seorang ibu pedagang bunga di Pasar Gede mengaku rela menempuh perjalanan ke Imogiri untuk melayat. “Saya tidak kenal langsung, tapi setiap kali kirab keraton lewat, saya selalu ikut berdoa. Beliau orang baik, aura-nya teduh,” ujarnya.

Sementara di keraton, para abdi dalem membersihkan bangsal, mengganti kain pusaka, dan menyiapkan sesaji sederhana — simbol penghormatan bagi raja yang sudah pulang. “Kami tidak menangis keras,” kata seorang abdi dalem muda. “Tapi hati kami gemetar. Seperti kehilangan bapak sendiri.”

Keheningan yang Abadi

Menjelang sore, kabut kembali turun menutupi bukit Imogiri. Hanya samar-samar terlihat atap cungkup makam di puncak bukit, tempat Pakubuwono XIII kini bersemayam. Suara burung-burung sore mengiringi keheningan, seolah alam pun turut berduka.

Di bawah tangga batu, warga satu per satu menyalakan dupa dan menundukkan kepala. Seorang kakek tua memejamkan mata sambil bergumam lirih, “Wis bali, Sinuhun… mugi tentrem ing swarga.” — “Engkau telah pulang, semoga damai di surga.”

Imogiri kembali tenang. Tapi sejarah mencatat: di bukit sunyi itu, seorang raja yang tenang telah pulang ke pelukan leluhur. Dan di hati rakyat Solo, nama Pakubuwono XIII akan terus hidup — sebagai simbol kebijaksanaan, kelembutan, dan cinta pada budaya Jawa yang tak pernah padam. (Dila)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments