spot_img
BerandaJelajahSaat Kata Menjadi Senjata: Krisis Literasi di Media Sosial

Saat Kata Menjadi Senjata: Krisis Literasi di Media Sosial

Jika kesadaran ini tumbuh dalam setiap pengguna media sosial, dunia maya akan menjadi ruang yang lebih sehat. Tempat bertukar pikiran, bukan bertukar hujatan. Tempat membangun ide, bukan menjatuhkan martabat.

 LESINDO.COM – Pagi itu, linimasa media sosial ramai oleh sebuah perdebatan. Seseorang menulis pendapat sederhana, namun balasan yang datang justru penuh amarah dan kata-kata kasar. Di balik layar, jari-jari mengetik cepat, tanpa jeda berpikir. Dunia maya yang seharusnya menjadi ruang berbagi ide, berubah menjadi medan pertempuran kata. Fenomena seperti ini kini menjadi wajah baru interaksi digital kita. Media sosial telah memberi kebebasan berbicara, namun tidak semua orang memahami cara menggunakannya dengan bijak. Di sinilah letak persoalan literasi.

Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Ia mencakup kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, dan mengelola emosi sebelum bereaksi. Dalam konteks dunia digital, literasi berevolusi menjadi literasi digital, literasi emosional, dan literasi sosial — tiga hal yang saling berkaitan dan menentukan kualitas komunikasi kita di dunia maya.

Masyarakat memiliki banyak pilihan sumber informasi. Mulai dari media tradisional seperti koran, majalah, dan radio, hingga media digital seperti televisi dan internet. Banyaknya pilihan ini memberi kebebasan bagi setiap individu untuk memilih sumber berita atau hiburan yang paling sesuai dengan kebutuhannya. (mac)

“Orang yang memiliki literasi baik tidak mudah tersulut emosi,” ujar Didik Subiyantoro,S.Si seorang pegiat literasi digital, “karena sebelum berkomentar, ia memeriksa fakta, memahami konteks, dan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.”

Sebaliknya, rendahnya literasi membuat seseorang mudah termakan provokasi. Judul sensasional langsung dipercaya, kabar palsu disebarkan tanpa verifikasi, dan perbedaan pendapat dianggap ancaman. Di sinilah literasi berperan sebagai rem moral, penuntun agar kebebasan berekspresi tetap dalam koridor etika.

Perlu diingat, di balik setiap akun media sosial ada manusia nyata — dengan hati, perasaan, dan kisah hidupnya sendiri. Maka, sebelum menulis komentar, mungkin sebaiknya kita bertanya: “Apakah kalimatku akan membangun, atau justru menyakiti?”

Jika kesadaran ini tumbuh dalam setiap pengguna media sosial, dunia maya akan menjadi ruang yang lebih sehat. Tempat bertukar pikiran, bukan bertukar hujatan. Tempat membangun ide, bukan menjatuhkan martabat.

Karena sejatinya, kata-kata di layar adalah cermin dari siapa kita sebenarnya.
Literasi mengajarkan bukan hanya bagaimana membaca dunia, tetapi juga bagaimana menghormati sesama di dalamnya.

Dan pada akhirnya, bijak bermedia sosial bukanlah tentang siapa yang paling vokal, melainkan siapa yang paling berakal. (Che)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments