Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso
Selamat Hari PGRI ke 80 dan Hari Guru Nasional
Tidak banyak yang tahu bahwa di balik tembok sekolah dasar yang tampak damai, ada sebuah republik kecil bernama Ruang Guru. Di sinilah berbagai karakter manusia menggelar lakon: dari yang penuh dedikasi hingga yang penuh… ambisi.
Pagi hari, ruang itu biasanya dipenuhi aroma kopi sasetan dan bisik-bisik rapat tak resmi—rapat yang tak pernah dijadwalkan, namun selalu berlangsung. Di pojok kanan, ada guru senior yang hobi memberi wejangan meski tak pernah diminta. Di sisi lain, guru yang baru ikut diklat dua hari sudah merasa pantas membuka kelas “motivasi hidup” bagi rekan sejawatnya.
“Menjadi guru itu harus rendah hati,” katanya sambil memastikan semua orang mendengar.
Di dekat lemari berkas, ada pula spesies lain: guru yang kalau lewat rasanya angin AC mendadak berubah menjadi lebih dingin. Ia berjalan pelan, penuh wibawa, seakan telah memenangkan penghargaan internasional—padahal baru saja menjadi ketua panitia lomba antar-kelas.
Ruang guru memang unik. Di sana, rasa iri sering lebih cepat menyebar daripada pengumuman resmi sekolah. Bila satu guru mendapat penghargaan, beberapa rekan spontan mengeluarkan jurus klasik: mengernyit, membatin, dan berkata dengan nada paling sopan, “Ah, itu mah kebetulan saja.”
Di bagian tengah ruangan, duduk pula guru yang memilih menjadi penonton saja. Ia tidak terlibat drama, tidak ikut bisik-bisik, tidak pula merasa perlu menasihati siapa pun. “Kerja saja yang bener,” katanya sambil mengoreksi lembar tugas. Ironisnya, guru tipe inilah yang paling sering dianggap sok suci.
Namun dalam republik mungil ini, ada pula warganya yang tetap waras. Guru-guru yang memilih tenang. Yang percaya bahwa membalas sindiran dengan senyuman jauh lebih ampuh daripada membalas dengan sindiran balik. Mereka hadir tanpa drama, tanpa panggung, tanpa perlu menjadi pusat perhatian.
Sebagian murid—yang diam-diam lebih peka daripada yang kita kira—menangkap semua adegan itu. Mereka melihat siapa yang saling menjatuhkan, siapa yang berebut sorotan, dan siapa yang tetap bekerja tanpa ingin dikenal. Murid tahu mana guru yang bicara tentang karakter, dan mana yang justru menjadi pelajar terbaik dalam mata pelajaran “Ego” dan “Ambisi Dasar.”
Pada akhirnya, republik kecil bernama Ruang Guru itu memperlihatkan satu kenyataan sederhana:
Bahwa menjadi guru tak otomatis membuat seseorang bijak.
Dan sering kali, guru sejati justru lahir dari mereka yang tidak merasa paling benar.
Sisanya?
Ya, mereka tetap rajin mengajar—mengajarkan kita bahwa kedewasaan ternyata tidak selalu naik pangkat bersama masa kerja.

