Musik di Bawah Hujan, Hidup di Bawah Garis
LESINDO.COM – Tak ada yang benar-benar siap menghadapi pagi di Dieng. Udara basah merayap dari sela-sela batu, menempel di kulit, menyelinap ke dalam tulang. Di Kompleks Candi Arjuna, cuaca seolah punya kebiasaan lama: bersekutu dengan kabut, memanggil gerimis dari langit yang kelabu. Namun bagi sebagian orang, cuaca bukan alasan untuk menyerah.
Aku baru saja menuntaskan langkah keluar dari kompleks candi ketika titik-titik air mulai jatuh. Mendung menggelayut makin berat. Payung tak kubawa, jas hujan malah tertinggal di bus. Kebiasaan lama menyelamatkanku: plastik kresek dalam tas—penjaga setia kamera tua yang selalu kupanggil “peralatan tempur.” Kamera itu tak pernah rewel, bahkan di saat-saat basah seperti ini. Ia hanya butuh sedikit perlindungan agar tetap berdaya.
Aku mempercepat langkah, sedikit berlari kecil, lalu justru melambat ketika telingaku menangkap sesuatu dari kejauhan: suara logam yang lirih, tajam, namun lembut sekaligus. Nada-nada pendek, seperti memanggil tetapi tidak memaksa.
Saron versi kecilnya. Bilah-bilah logam itu, entah berapa kali dipukul, entah berapa kali dirawat seadanya, kini mengirimkan getarannya ke udara pagi yang dingin.
Dari kejauhan aku melihatnya—seorang anak, duduk sendirian di jalur keluar pengunjung. Tidak ada yang menemani. Tidak ada yang menawari payung. Tidak ada peralatan lain kecuali saron kecil yang warnanya sudah pudar dan sebuah kotak kardus sebesar dus aqua gelas—tempat harapan-harapan kecil dititipkan dalam bentuk recehan.
Gerimis mulai merata, tapi ia tidak beranjak. Kedua tangannya tetap mengangkat dua tabuh pendek, memukul bilah-bilah logam itu dengan ketukan yang teratur. Tidak cepat, tidak lambat—seperti ritme hidup yang ia genggam sendiri.

Aku mengarahkan lensa tele 80–200mm—kamera sudah kuselipkan di balik rompi agar tidak basah. Ketika kubidik, ia menoleh sedikit. Bukan tatapan penuh; hanya gerak kecil yang bahkan tidak mencapai setengah putaran kepala. Sekilas saja. Tapi cukup untuk memberi tanda bahwa ia sadar dunia melihatnya—meski dunia sering melewatinya begitu saja.
Musiknya tetap mengalun. Nada-nada itu seperti mengetuk dada lebih dalam daripada telinga. Di tengah gemericik hujan, bunyinya justru terasa lebih jujur. Bukan pertunjukan. Bukan paksaan. Bukan rayuan untuk meminta.
Ia tidak mengemis—ia bermain.
Ia tidak memaksa—ia bertahan.
Ia tidak menadahkan tangan—ia menabuhkan nada.
Dan di situlah nilai paling mulia itu muncul: keberanian untuk tetap berusaha, meski yang didapat mungkin hanya recehan. Beberapa orang lewat begitu saja, beberapa menunduk singkat, beberapa berhenti sekilas untuk memasukkan uang. Tapi anak itu tidak pernah mengganti ritmenya—yang berubah hanya cuaca.
Dalam hidup, kita sering menjumpai mereka yang tak punya akses, tak punya pendidikan, dan bahkan tak punya kesempatan untuk mengenali potensinya sendiri. Banyak dari mereka terperosok menjadi peminta-minta, bukan karena tidak ingin bekerja, tapi karena tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan.
Namun anak ini—di antara kabut, dingin, dan gerimis—menawarkan apa yang ia punya: ketekunan.
Ia memukul saron kecilnya, walau lusuh.
Ia duduk di bawah langit yang rawan menumpahkan hujan.
Ia menunggu, bukan meminta.
Ia bekerja, bukan merayu.
Saat aku melewatinya, musik itu masih mengiringi langkahku. Hujan semakin rapat. Anak itu tetap di tempatnya, seolah memegang perjanjian yang hanya ia sendiri yang tahu batasnya.
Aku menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum jarak menelan pandang. Dalam hati, satu doa kecil kutitipkan:
semoga hidupnya kelak lebih indah dari ketukan-ketukan kecil yang ia berikan pada pagi yang sendu itu.
Sebab manusia, betapa pun kecil perjuangannya, berhak mendapatkan harapan yang lebih terang daripada langit mendung Dieng.
Dan mungkin, dari ketukan saron itulah ia sedang membangun jalannya—pelan, sederhana, namun tak pernah menyerah. (mac)

