Oleh : Yai Kampung
Pada suatu pagi yang lengang, ketika azan subuh baru saja mereda, seorang lelaki paruh baya duduk termenung di beranda rumahnya. Ia memandang jauh ke jalan kampung yang masih basah oleh embun. “Entah sejak kapan saya berhenti merasa malu,” katanya lirih. Ungkapan sederhana itu menjadi pintu masuk untuk memahami sebuah kenyataan yang lebih sunyi: retaknya jiwa seseorang tanpa ia sadari.
Di sebuah sudut kehidupan yang tak banyak disadari orang, ada gejala yang pelan namun pasti mengguratkan luka halus dalam diri manusia: hilangnya rasa malu. Rasa yang semestinya menjadi pagar batin, perlahan memudar dari hati seseorang. Ketika pagar itu runtuh, sesungguhnya ia sedang kehilangan anugerah yang selama ini menjadi penjaganya dari kehinaan.
Dari titik itulah hidup mulai kehilangan makna. Ia tetap bergerak, tetap bekerja, tetap bersosialisasi, namun tanpa tujuan yang jelas. Seperti perahu yang terseret arus tanpa kompas, ia berjalan bukan karena tahu arah, tetapi karena waktu memaksanya terus melaju.
Tanda-tanda kehilangan makna itu, sering kali tampak sederhana. Ucapan yang meluncur tanpa filter moral, tanpa rasa segan, tanpa keinginan untuk menyejukkan. Kata-kata yang dulu penuh empati, kini berubah menjadi kalimat hambar, bahkan kasar. Tindakan-tindakannya pun serupa: aktivitas baik terasa berat, sementara kesibukan dunia justru terasa ringan dan mengasyikkan.
Di tengah rutinitas yang kian padat, waktu terasa menguap begitu cepat. Untuk sekadar mengucap syukur pun terasa menyulitkan, apalagi menunaikan ibadah sunnah seperti puasa, salat malam, atau membaca ayat-ayat suci. Bahkan ibadah wajib, yang seharusnya menjadi jangkar kehidupan, kerap dilakukan di ujung waktu atau bahkan terabaikan. Inilah tanda bahwa seseorang sedang kehilangan “nikmat batin”—rasa tenteram yang mestinya hadir saat bersujud.
Seorang tokoh agama di sebuah dusun pernah berkata, “Hati yang kotor itu seperti kaca yang buram; cahaya nasihat seindah apa pun tak akan bisa menembusnya.” Ungkapan itu terasa relevan saat melihat orang yang kian jauh dari nilai-nilai batin. Bukan karena kurangnya nasihat, melainkan karena hati memang tak lagi mampu menangkap sinyal kebaikan.
Dunia pun menyambutnya dengan segala kesibukan. Kesibukan yang justru membuatnya makin jauh dari ketenangan. Hatinya seakan tertutup, tak lagi peka pada sentuhan spiritual. Seperti ikan yang diangkat dari air—masih bergerak, tetapi tak punya harapan untuk kembali bernapas lega—begitulah manusia yang tercerabut dari sumber ketenteramannya.
Namun, perjalanan batin manusia tak pernah sepenuhnya berpintu buntu. Di tengah gersangnya hati, masih ada satu jalan kecil yang tetap terbuka: istighfar. Meski hanya satu kalimat yang lirih, ia bisa menjadi titik balik. Sebab Tuhan, dalam banyak kisah hidup manusia, tak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang mencoba kembali—betapapun retak dan jauhnya jiwa itu tersesat.
Pada akhirnya, retakan halus itu bisa diperbaiki. Perlahan, melalui pengakuan, kesadaran, dan kerendahhatian untuk mulai lagi. Dan dari situlah, makna hidup kembali menemukan jalan pulangnya.

