Oleh: Faicha Adilla M (Mahasiswa FK.Unair)
Di tanah Jawa, hidup selalu dibacakan lewat bisikan halus: urip iku sawang-sinawang—hidup adalah saling memandang, saling merasakan. Manusia bukan hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk ber-roso, yang laku hidupnya diikat oleh keseimbangan. Di antara banyak pasangan nilai yang diajarkan para pinisepuh, ada dua yang tak pernah usang: kebaikan dan kebijaksanaan.
Di sebuah rumah joglo tua di tepi persawahan, seorang simbok duduk menampi beras. Usianya sudah lewat tujuh puluh, tetapi suaranya bening seperti embun pagi. Tiap kali tetangga datang meminta tolong, ia menyambutnya dengan senyum yang runtut, seakan dunia selalu punya ruang untuk ramah tamah. Namun suatu petang, seorang pemuda datang lagi, meminta pinjaman yang kesekian kali. Simbok berhenti menampi, menatapnya dengan tatapan yang tak lagi hanya kasih, tetapi juga penuh pertimbangan.
“Nak,” ujarnya lirih, “kebaikan kuwi kudune marahi awakmu rumangsa kuwawa, dudu gumantung.”
Kebaikan, katanya, seharusnya membuat seseorang merasa mampu, bukan bergantung.
Dalam kalimat yang pelan itu, terkandung hikmah lama: kebaikan tanpa kebijaksanaan bisa menjerat, bukan membebaskan.
Dalam falsafah Jawa, kebaikan—apikan—tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu bersanding dengan wicaksana, kebijaksanaan yang lahir dari pengendapan pengalaman. Mereka seperti dua unsur alam: air dan batu. Air memberi kehidupan, tetapi tanpa batu yang menahan, ia bisa menggenang dan merusak. Batu memberi bentuk, tetapi tanpa air ia menjadi tandus dan tak berdaya.
Begitulah manusia memerlukan keduanya: kelembutan hati dan ketepatan pikir.
Kebaikan yang Terlalu Lembut Bisa Melukai
Orang Jawa mengenal pepatah: “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.”
Ada seni memberi yang tidak mempermalukan, seni menolong yang tidak memanjakan.
Namun tak sedikit yang keliru mengartikan kebaikan sebagai sikap yang selalu mengalah. Ada orangtua yang tak kuasa menegur anaknya, takut melukai hatinya, padahal teguran itulah jalan masa depan. Ada tetangga yang terus memberi meski tahu bantuan itu tak pernah menumbuhkan kesadaran, hanya menambah kemalasan. Ada pemimpin kecil di kampung yang membiarkan pelanggaran demi menjaga rukun, padahal kerukunan tanpa kejelasan hanya menghasilkan masalah yang mengendap.
Kebaikan seperti ini, kata para sepuh, adalah tresna sing peteng—kasih yang gelap mata. Niatnya luhur, tapi arah jalannya kabur.
Kebijaksanaan yang Kehilangan Rasa
Sebaliknya, kebijaksanaan yang hanya mengandalkan nalar bisa menjadi dingin seperti batu sungai di musim kemarau. Orang yang terlalu berharap pada kalkulasi sering lupa bahwa manusia bergerak bukan hanya oleh logika, tetapi oleh luka, harapan, dan kerinduan.
Kebijaksanaan tanpa welas asih melahirkan sikap prigel tanpa roso—pintar tapi tak bisa menghangatkan siapa pun. Ia tampak rapi, tampak benar, tapi kosong dari getaran kemanusiaan. Dalam budaya Jawa, ini disebut sebagai meleset dari kawruh jiwa—pengetahuan yang menyentuh inti manusia.

