Oleh Tunggul Abyasa
Jika Anda melaju pelan menuju Alun-alun Utara Keraton Surakarta Hadiningrat, ada sepasang sosok bisu yang telah ratusan tahun berdiri menyambut siapa pun yang masuk ke jantung Kota Solo. Mereka tak menyapa, tak bergerak, tetapi kehadirannya seolah memanggil ingatan jauh ke masa ketika Solo adalah sebuah imperium budaya: anggun, teguh, sekaligus penuh wibawa. Dua arca besar di kiri dan kanan jalan ituādikenal masyarakat sebagai Reco Gladak atau Arca Penthungāibarat penjaga yang tak pernah lelah menatap arus zaman.
Dua Penjaga di Pintu Kota
Arca di sisi kiri berdiri tak jauh dari kantor Bakorwil II Surakarta, sementara pasangannya di kanan berjaga di dekat Pusat Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC). Dari sudut pandang mana pun, keduanya meminjam aura klasik Dwarapalaāpenjaga gerbang dalam tradisi Jawa-Buddhaānamun dengan sentuhan lokal yang menjadikannya unik. Tubuh kekar, tatapan tajam, dan pentungan atau gada di tangan, seolah menegaskan bahwa kawasan yang akan Anda masuki bukan sembarang ruang, melainkan halaman depan Keraton Surakarta.
“Di sinilah awal dari kota,” ujar banyak orang Solo ketika ditanya tentang Gladak. Mereka menyadari bahwa siapa pun yang berdiri di antara kedua arca itu, sejatinya sedang berada tepat di poros yang menghubungkan pintu kota dengan pintu keratonāgaris imajiner yang sejak lama menjadi sumbu kebudayaan Surakarta.
Gladak: Dari Jejak Buruan hingga Gerbang Keraton

Nama Gladak menyimpan cerita yang mungkin tak terbayang oleh wisatawan. Sejarawan menyebut bahwa istilah ini berasal dari kata digladak, atau diseret. Pada masa lalu, hewan buruan rajaākijang, banteng, bahkan celengādibawa dari wilayah Krapyak dan diseret menuju titik penyembelihan yang terletak di kawasan ini sebelum dipersembahkan ke Keraton. Suara itu, gesekan itu, jejak darah yang terbawa arus waktuāsemua tertinggal sebagai jejak etimologi sebuah nama.
Kini, tentu tak ada lagi hewan diseret di sini. Yang bergerak hanyalah manusia: pedagang yang bergegas membuka kios, wisatawan yang mengarahkan kamera, atau warga Solo yang tiap hari melewati jalan ini tanpa pernah benar-benar berhenti memikirkan sejarah yang mengalir di bawah tapak mereka.
Identitas Kota yang Senyap Namun Tegas
Dalam lanskap perkotaan yang kian dipenuhi gedung modern seperti PGS dan BTC, Reco Gladak tetap berdiri tanpa tergeser. Ia menjadi semacam penanda keabadian, semacam bisikan bahwa Solo bukan hanya kota dagang, kuliner, dan keramahtamahan; Solo juga kota yang hidup dari sejarah panjang yang tak pernah benar-benar hilang.
Seorang penjual wedang ronde di Gladak pernah berujar, āKalau lewat sini rasanya selalu seperti disapa masa lalu. Reco iku ngganduli kutha iki,ā katanya sambil menunjuk arca. Reco itu, menurutnya, masih memayungi kota, menjaga agar denyut modernitas tak memutus urat tradisi.
Gerbang Menuju Ruang yang Lebih Dalam
Bagi pelancong, berdiri di depan Reco Gladak adalah seperti menunggu di ambang waktu. Ketika melangkah ke selatan, Anda akan memasuki kawasan bersejarah Keraton Surakartaātempat tradisi dijaga, ritual dijalankan, dan kebudayaan hidup di antara tembok tua serta aroma kemenyan.
Bagi warga Solo, Reco Gladak tak sekadar dua arca batu besar. Ia adalah penanda arah, saksi zaman, dan bagian dari identitas kota yang melekat pelan-pelan seperti tembang macapat yang mengalun di kejauhan. Ia tidak bicara, tetapi tidak ada yang lebih fasih menceritakan Solo selain dua penjaga tua yang tak pernah meninggalkan posnya ini.
Jika Anda berkunjung ke Solo, berhentilah sejenak di Gladak. Pandangi kedua arca itu. Rasakan hembusan sejarah yang mengalir pelan di sepanjang poros kota. Barangkali Anda akan memahami bahwa Solo bukan hanya kota; ia adalah narasi panjang yang dijaga oleh pasangan penjaga yang setia, sejak abad demi abad lalu hingga hari ini.

