spot_img
BerandaBudayaRaja Kembar, NU Goyang, dan Warisan Qabil

Raja Kembar, NU Goyang, dan Warisan Qabil

Sejak dulu manusia punya hubungan romantis yang toxic dengan kursi kekuasaan. Begitu kursinya kosong, drama langsung diproduksi berjilid-jilid daha­syatnya melebihi sinetron Ramadan.

Oleh Yai Kampung

Kenapa manusia suka berebut kekuasaan?
Mungkin karena kursi kekuasaan itu punya magnet level dewa. Siapa pun yang duduk di sana mendadak merasa lebih tinggi setengah hasta, lebih pinter seperempat kabupaten, dan lebih suci dua takaran daripada manusia biasa. Kursi itu ajaib—kayak dilengkapi fitur auto-merasa-benar tanpa perlu update.

Lihat saja rebutan jabatan di mana-mana.
NU bisa goyang, keraton bisa pecah, dan bahkan RT RW pun bisa perang bantal gara-gara cap stempel. Semua merasa paling sah, paling murni keturunannya, paling “ini garis lurus sejarah!”. Padahal yang lurus sering cuma kursinya—itu pun kalau belum disikut pesaing.

Kalau kita tarik ke masa lampau, gaya manusia modern sebenarnya cuma remake dari film lama: Qabil versi abad-1.
Bedanya, Qabil dulu iri karena kurbannya kalah kualitas.
Manusia zaman sekarang?
Kurbannya entah di mana—yang dikorbankan justru akal sehatnya.

Kisahnya begini (dalam versi jenaka):
Habil bawa kurban terbaik.
Qabil bawa kurban sisa panen yang mungkin sudah diintip tikus.
Allah memilih yang terbaik.
Qabil marah.
Logikanya sederhana:
“Kalau aku tidak menang, maka dunia harus kalah.”

Mirip dengan musim pemilihan apa pun:
Baru kalah tipis sudah teriak, “Ada kecurangan!”
Padahal yang curang ya… perasaannya sendiri.

Setelah tragedi itu, Qabil malah diajari gagak cara mengubur mayat.
Pesan moralnya tidak main-main:
Kalau manusia dikuasai ambisi, kecerdasannya bisa drop—turun kasta setara unggas.

Dan manusia modern melanjutkan tradisi itu dengan upgrade digital:
— Bukan pakai batu, tapi pakai grup WhatsApp.
— Bukan saling hantam, tapi saling kirim fitnah.
— Bukan bertanya pada gagak, tapi menunggu briefing dari “tim sukses”.

Intinya:
Sejak dulu manusia punya hubungan romantis yang toxic dengan kursi kekuasaan.
Begitu kursinya kosong, drama langsung diproduksi berjilid-jilid daha­syatnya melebihi sinetron Ramadan.

Tapi ada satu babak unik dalam sejarah kekuasaan Indonesia:
ketika kursi presiden goyang,
Gus Dur digeser,
dan ajaibnya negeri ini tidak terbakar, tidak ada perang lima babak, tidak ada keributan yang memanjang seperti episode belasan.

Padahal, jangan salah—di belakang layar, para pemain sudah siap.
Ada yang sudah menyiapkan amarah, sudah mengasah ambisi, bahkan sudah meneteskan niat darah. Tinggal menunggu cue saja.

Tapi apa yang dilakukan Gus Dur?
Bukan ngotot, bukan menggertak, bukan memamerkan “ilmu sakti kedudukan”.
Beliau justru memilih melangkah turun dengan senyum santai, seolah berkata,
“Jabatan itu seperti sandal jepit: hilang ya beli lagi, jangan bikin geger kampung.”

Tidak semua manusia diberi paket lengkap seperti itu—
kepala dingin, hati lapang, ego ditaruh di kantong,
dan kesabaran level DEWA tanpa butuh promo akhir tahun.

Gus Dur justru menunjukkan satu hal:
Yang benar-benar kuat bukan yang mempertahankan kursi,
tapi yang bisa meninggalkannya tanpa kehilangan martabat.

Sementara manusia lain?
Baru kehilangan posisi seksi sedikit saja, langsung lupa semboyan,
lupa ukhuwah, lupa moral, bahkan lupa bahwa dunia ini sebentar.

Akhir kata, satirnya bisa dirangkum begini:
Manusia itu tidak takut kehilangan pahala.
Yang mereka takuti adalah kehilangan kursi—
apalagi kalau kursinya empuk dan sudah pas sama lekuk pinggulnya.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments