spot_img
BerandaBudayaRahasia Kehidupan Lestari, Harmoni  dari Desa Penglipuran

Rahasia Kehidupan Lestari, Harmoni  dari Desa Penglipuran

Penglipuran juga dikenal karena satu aturan adat yang unik: larangan poligami. Bagi masyarakat desa, keharmonisan rumah tangga adalah fondasi kebersamaan. Mereka yang melanggar aturan adat dipindahkan ke sebuah kawasan khusus bernama Karang Memadu.

LESINDO.COM – Pagi baru saja merekah ketika cahaya matahari menyapu jalan utama Desa Penglipuran. Deretan rumah tradisional berdiri anggun di kiri dan kanan jalan, seragam dalam bentuk dan bahan. Tak ada plastik berserakan, tak ada asap kendaraan. Hanya semilir angin yang membawa aroma bambu basah dari hutan di sekeliling desa. Selama ini, banyak orang mengenal Penglipuran karena predikatnya sebagai desa terbersih di dunia. Namun, di balik kebersihan yang memikat mata, desa adat ini menyimpan cerita lain yang justru menjadi nyawa kehidupan warganya.

Setiap rumah di Penglipuran dibangun dengan pola yang sama: atap ijuk, dinding bambu, dan pekarangan yang rapi. Keseragaman ini bukan semata demi estetika, melainkan warisan filosofi Tri Mandala. Tata ruang desa terbagi jelas: wilayah suci di atas, kawasan pemukiman di tengah, dan area profan di bawah. Harmoni ini mencerminkan keseimbangan hidup masyarakat dengan alam dan leluhur.

Penglipuran juga dikenal karena satu aturan adat yang unik: larangan poligami. Bagi masyarakat desa, keharmonisan rumah tangga adalah fondasi kebersamaan. Mereka yang melanggar aturan adat dipindahkan ke sebuah kawasan khusus bernama Karang Memadu. Aturan ini, meski terdengar keras, justru memperlihatkan konsistensi warga dalam menjaga nilai sosial dan moral desa.

Sekitar 40 persen wilayah Penglipuran ditutupi hutan bambu. Di sanalah keseimbangan alam dijaga. Bambu tak hanya berfungsi sebagai penahan erosi dan sumber air, tetapi juga bahan hidup masyarakat. Dari pagar rumah, atap bangunan, hingga anyaman kerajinan tangan, bambu menjadi sumber ekonomi sekaligus simbol kesederhanaan hidup warga.

Rumah-rumah tradisional berderet simetris di kanan dan kiri jalan, dengan atap khas Bali yang terbuat dari ijuk. Di depan rumah-rumah tersebut, terdapat tanaman hias dan ornamen tradisional yang mempercantik suasana. (mac)

Saat hari raya Galungan dan Kuningan tiba, jalan utama desa berubah menjadi panggung budaya. Deretan penjor bambu yang menjulang tinggi menambah kesakralan suasana. Wisatawan yang hadir bukan hanya menyaksikan keindahan visual, tetapi juga merasakan bagaimana adat masih menjadi denyut nadi kehidupan sehari-hari.

Tidak seperti banyak destinasi wisata lain, pariwisata di Penglipuran dikelola langsung oleh warga. Dari homestay, kuliner, hingga pemandu wisata, semua berbasis komunitas. Sistem ini membuat keuntungan kembali ke desa, bukan sekadar masuk ke kantong investor luar. “Kami ingin desa tetap milik kami, bukan hanya pajangan untuk turis,” ujar seorang tokoh adat setempat.

Berkat konsistensinya, Penglipuran masuk dalam daftar Top 100 Sustainable Destinations. Namun bagi warga, penghargaan hanyalah bonus. Yang utama adalah menjaga warisan leluhur tetap lestari. Kebersihan, kesederhanaan, dan adat bukan hanya strategi pariwisata, melainkan gaya hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments