spot_img
BerandaJelajahPutuk Truno: Air Terjun, Cinta, dan Doa yang Tak Pernah Usai

Putuk Truno: Air Terjun, Cinta, dan Doa yang Tak Pernah Usai

Mitos itu hidup berdampingan dengan realitas alam. Air terjun setinggi sekitar 45 meter ini memahat tebing batu dengan kesabaran waktu. Udara sejuk pegunungan menyelimuti kawasan, lumut dan tanaman liar tumbuh liar, menciptakan suasana yang nyaris sakral. Di sinilah alam dan cerita rakyat bersekutu, menjadikan setiap percik air seolah membawa doa-doa yang pernah dipanjatkan.

LESINDO.COM – Di lereng Gunung Arjuno-Welirang, di antara rimbun pepohonan dan tebing hijau yang menjulang, air jatuh setinggi puluhan meter dengan suara yang tak pernah benar-benar sunyi. Air Terjun Putuk Truno, di Prigen, Pasuruan, bukan sekadar lanskap alam yang memanjakan mata. Ia adalah kisah. Tentang cinta yang menolak tunduk pada sekat kasta, tentang doa yang lebih keras dari pagar gaib, dan tentang harapan yang masih dipercaya hingga hari ini.

Nama Putuk Truno bukan sekadar penanda geografis. Ia adalah jejak dua nama yang dilebur oleh legenda: Sri Putuk dan Joko Taruno—dua insan yang cintanya tumbuh di tanah yang tidak ramah pada perbedaan derajat.

Sri Putuk adalah putri bangsawan, darah ningrat mengalir dalam tubuhnya sebagai anak Raden Arya Wirajaya. Sementara Joko Taruno hanyalah pemuda jelata, rakyat biasa yang tak memiliki apa-apa selain ketulusan. Cinta mereka, sebagaimana kisah klasik dalam sejarah Jawa, dianggap salah sejak mula. Ayah Sri Putuk menolak, lalu mengurung putrinya dalam pagar gaib di sebuah pemandian, berharap jarak dan kekuatan leluhur bisa memutus rasa.

Air terjun setinggi kurang lebih 45 meter itu seakan memahat tebing batu dengan kesabaran waktu. Alirannya jatuh tanpa tergesa, mengikis kerasnya batu seperti tangan alam yang bekerja diam-diam selama ratusan tahun. (mc)

Namun cinta, dalam kisah-kisah Jawa, jarang tunduk pada larangan. Joko Taruno memilih jalan sunyi: semedi. Ia bertapa, menundukkan ego dan raga, memohon petunjuk pada semesta. Ketika ketulusan telah mencapai batasnya, pagar gaib itu konon runtuh. Di tempat air jatuh dan kabut menggantung, mereka bertemu kembali—di titik yang kini dikenal sebagai Air Terjun Putuk Truno.

Tak ada catatan sejarah tentang bagaimana hidup mereka berakhir. Legenda hanya menyisakan satu versi yang dipercaya masyarakat: mereka melarikan diri, hidup bersama, dan cinta mereka menjadi abadi. Seabadi gemuruh air yang hingga kini terus jatuh tanpa henti.

Kepercayaan itulah yang membuat Putuk Truno lebih dari sekadar tujuan wisata. Banyak pasangan datang bukan hanya untuk berfoto, tetapi untuk ngalap berkah. Membasuh wajah, merendam kaki, atau sekadar berdiam dalam hening. Konon, cinta akan dilanggengkan. Bagi yang masih sendiri, air ini dipercaya dapat “membuka jalan jodoh”.

Mitos itu hidup berdampingan dengan realitas alam. Air terjun setinggi sekitar 45 meter ini memahat tebing batu dengan kesabaran waktu. Udara sejuk pegunungan menyelimuti kawasan, lumut dan tanaman liar tumbuh liar, menciptakan suasana yang nyaris sakral. Di sinilah alam dan cerita rakyat bersekutu, menjadikan setiap percik air seolah membawa doa-doa yang pernah dipanjatkan.

Putuk Truno mengajarkan satu hal sederhana namun dalam: bahwa manusia datang ke alam bukan hanya untuk melihat keindahan, tetapi untuk menemukan makna. Tentang cinta yang berani melawan ketakutan, tentang doa yang dilafalkan dalam diam, dan tentang keyakinan bahwa tidak semua yang abadi harus tercatat dalam sejarah—cukup hidup dalam ingatan dan kepercayaan orang-orang yang datang dan percaya.

Di bawah jatuhnya air Putuk Truno, legenda itu terus mengalir. Seperti cinta Joko Taruno dan Sri Putuk—tak pernah benar-benar selesai. (Fik)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments