spot_img
BerandaLensa IndonesiaPetuah di Tengah Jalan Sunyi Menuju Pangandaran

Petuah di Tengah Jalan Sunyi Menuju Pangandaran

Sepanjang malam, Mbah tak henti berbagi kisah tentang pasar, keluarga, juga tentang hidup. Bicaranya renyah dan jujur, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan segala hal. Sampai di satu titik perjalanan, ia berkata pelan dengan logat Jawa yang lembut: “Nggih ngeten niki, Mas… ati kulo, kulo seneng-senengke, gen nyowone krasan.”

LESINDO.COM – Malam masih pekat ketika rombongan bus dari Pasar Ceper, Klaten, mulai melaju meninggalkan Jawa Tengah menuju pesisir selatan Jawa Barat. Tujuan kami: Kabupaten Pangandaran, tempat laut berwarna biru kehijauan bertemu tebing batu yang megah. Perjalanan itu bukan sekadar wisata, tapi juga sejenak melepas lelah dari rutinitas berdagang yang padat.

Jarak Klaten–Pangandaran memang tak dekat—sekitar 329 kilometer, dengan waktu tempuh tujuh hingga delapan jam. Namun di antara suara mesin dan obrolan para pedagang, saya menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar destinasi wisata: sebuah pelajaran hidup dari seorang tua sederhana yang ikut dalam rombongan kami.

Namanya biasa saja dipanggil, Mbah. Usianya tak lagi muda, kulitnya berkeriput, dan rambutnya memutih. Namun dari wajahnya terpancar ketenangan yang hangat. Duduk di bangku dekat jendela, ia tampak menikmati setiap momen perjalanan, sesekali tersenyum, sesekali bercerita.

Sepanjang malam, Mbah tak henti berbagi kisah tentang pasar, keluarga, juga tentang hidup. Bicaranya renyah dan jujur, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan segala hal. Sampai di satu titik perjalanan, ia berkata pelan dengan logat Jawa yang lembut: “Nggih ngeten niki, Mas… ati kulo, kulo seneng-senengke, gen nyowone krasan.”

Pagi di tepi pantai, hembusan angin lembut membelai tanpa henti — seakan membawa pergi segala lelah perjalanan bersama desir ombak yang menenangkan hati. (mac)

Saya sempat tertawa kecil mendengarnya. Kalimat yang terdengar sederhana, bahkan lucu di telinga muda saya. Namun entah mengapa, kata-kata itu terus terngiang hingga perjalanan panjang menuju Pangandaran usai.
“Seneng-senengke ati, ben nyowo krasan” — bahagiakan hatimu, agar jiwamu betah tinggal di ragamu.

Keesokan paginya, bus kami tiba di Pangandaran. Laut membentang luas di hadapan, dan embun pagi menempel di kaca bus yang buram. Ketika kami duduk di tepi pantai Batu Karas, menatap ombak yang datang silih berganti, saya kembali teringat petuah Mbah. Ia duduk tak jauh dari saya, menatap laut dengan pandangan teduh. “Bahagia itu ora kudu sugih, Mas,” katanya sambil tersenyum. “Yen atine bungah, awak ora gampang loro. Lha wong penyakit kuwi akeh asale saka pikiran.”

Kata-kata itu menancap dalam. Betapa sering kita mengejar hal-hal besar, padahal kebahagiaan sejati justru tumbuh dari kesederhanaan—dari cara kita mensyukuri apa yang ada. Petuah Mbah di perjalanan menuju Pangandaran itu terus saya ingat hingga kini. Di tengah debur ombak, saya menyadari, bahagia bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa tulus kita menikmati yang tersisa.

Dari seorang pedagang tua di pasar kecil Klaten, saya belajar bahwa hidup tidak perlu muluk-muluk. Cukup dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang lapang, hidup bisa menjadi perjalanan yang menyenangkan. Karena seperti kata Mbah, “yen nyowo krasan, urip pun bakal ayem.”

Bahagia ternyata tidak perlu dicari terlalu jauh. Ia hadir dalam keikhlasan, dalam rasa cukup, dalam ketenangan hati yang tak lagi menuntut banyak.
Dan pagi itu, di antara pasir, ombak, dan cahaya laut Pangandaran, saya benar-benar belajar arti bahagia—dari seorang Mbah yang sederhana, tapi jiwanya luas seperti samudra. (mac)

 

 

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments