LESINDO.COM – Pagi itu, Pasar Kopeng masih lengang. Kabut tipis menggantung rendah, seperti selimut halus yang turun dari lereng Merbabu. Di ketinggian sekitar 1.450–1.500 mdpl, udara pegunungan terasa menggigit—dingin yang menusuk, tetapi sekaligus menenangkan. Setiap hembusan angin membawa aroma tanah basah, sayuran segar, dan kehidupan yang bergerak pelan. Pasar belum ramai; pedagang masih menata dagangan, beberapa pembeli lokal melintas dengan langkah santai.
Di antara lanskap alami yang indah ini, berdirilah seorang perempuan tua penjual tahu, sosok yang mungkin tak disadari banyak wisatawan, tetapi menjadi denyut kecil pasar itu sendiri. Dengan kerudung merah jambu yang sudah memudar dan kebaya sederhana, ia menapaki lantai pasar yang sedikit lembap. Di pinggangnya tersampir keranjang kain besar berisi dagangan—tahu goreng, bumbu, dan kebutuhan kecil lain yang ia jajakan dari satu sudut ke sudut lain.
Wajahnya berkerut, namun matanya menyala. Tangan tuanya cekatan membungkus tahu dalam plastik putih. Setiap gerakan tampak seperti ritual yang sudah ratusan kali dilakukan, tapi tetap penuh kehati-hatian. Dingin Kopeng tidak menghentikan langkahnya; justru ia bergerak lebih cepat, seolah tubuhnya sudah akrab dengan udara tipis dan hawa pegunungan sejak puluhan tahun lalu.

Ia adalah bagian dari nadi ekonomi rakyat yang paling sederhana—pedagang keliling yang tak memiliki kios, tak punya papan nama. Namun ketabahannya melampaui banyak cerita.
“Rezeki itu harus dijemput,” mungkin begitu batin yang ia pegang. Dan ia menjemputnya dengan langkah-langkah kecil tapi pasti, setiap hari, tanpa jeda.
Menjelang siang hingga sore, wisatawan dari luar kota biasanya mulai berdatangan. Mereka membeli sayur-sayuran segar—wortel tebal, kentang Kopeng yang terkenal gurih, kol besar yang seakan tumbuh dari kabut. Ada juga buah-buahan lokal yang segar tanpa pestisida. Pasar akan berubah ramai, warna-warni, riuh oleh tawar-menawar. Namun perempuan penjual tahu itu tetap sama: tenang, sabar, dan tak pernah meninggalkan senyum kecilnya.
Di tengah perputaran ekonomi yang semakin modern, keberadaannya memberi pengingat bahwa pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli. Di sana ada cerita keteguhan, kisah petani dan pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada tanah pegunungan. Ada napas panjang perjuangan yang sering luput dari mata kamera wisatawan.
Perempuan penjual tahu di Pasar Kopeng ini bukan hanya pedagang kecil. Ia adalah simbol ketekunan yang tumbuh dari tanah dingin Getasan—sosok yang tetap berdiri tegak meski hidup tak selalu mudah. Ia menjual tahu, tetapi yang ia bawa lebih dari itu: pelajaran tentang kesabaran, keteguhan, dan keberanian untuk terus melangkah, meski di tengah kabut yang datang setiap pagi. (Nad)

