LESINDO.COM – Di bawah terik matahari siang, sebuah mobil bak terbuka melaju pelan di jalan tikungan mesra berliku lereng Bedugul. Di bak belakangnya, dua perempuan Tangguh duduk di antara tumpukan sayuran segar kol, hasil panen yang baru saja dipetik dari kebun di ketinggian. Tubuh mereka berguncang setiap kali mobil melibas tikungan tajam, namun tangan-tangan kasar itu tetap erat menggenggam jaring pengaman. Tak ada sabuk pengaman, tak ada ruang nyaman, hanya tekad dan kebiasaan yang membuat mereka tetap tenang di atas tumpukan hasil bumi.
Mereka adalah potret nyata perjuangan petani perempuan di pedesaan Bali. Sejak dini hari, kedua wanita itu sudah memetik sayur di kebun yang berkabut. Tak jarang, mereka harus menuruni jalan curam sambil memanggul hasil panen sebelum diangkut ke pasar. Semua dilakukan demi menafkahi keluarga, menyekolahkan anak, dan menjaga tradisi bertani yang diwariskan turun-temurun.
Di balik tawa kecil dan percakapan singkat di atas mobil, tersimpan kisah tentang keteguhan hati dan keberanian. Bahwa hidup di lereng gunung bukan sekadar tentang alam yang indah, tapi juga tentang perjuangan tanpa henti perjuangan yang sering luput dari sorotan, namun menjadi denyut kehidupan di pedesaan Bali
Saat kabut pagi turun perlahan, menyelimuti lereng-lereng hijau Bedugul. Embun menggantung di ujung daun kol, memantulkan cahaya pertama dari matahari yang malu-malu menembus pepohonan. Suara ayam berkokok bersahutan dari kejauhan, berpadu dengan denting alat cangkul dan seruan lembut para petani. Di antara suara alam yang hidup itu, d

ua perempuan tampak berjalan pelan di pematang kebun, punggung mereka terbebani keranjang bambu yang penuh hasil bumi.
Ni Luh Sari dan Made Rusni, dua perempuan dari lereng Bedugul, telah terbiasa menyapa pagi dengan peluh. Sejak subuh mereka sudah memetik kol segar, tangan-tangan kasar mereka menyingkirkan daun yang rusak dengan ketelitian seorang ibu merawat anak. Di udara yang tipis dan dingin, mereka menyiapkan hasil panen untuk perjalanan panjang menuju pasar.
Menjelang siang, mereka menaiki mobil bak terbuka yang sarat muatan. Jalan menurun berliku, jurang menganga di sisi kanan, namun mereka duduk di atas tumpukan kol dengan tenang seolah bahaya adalah kawan lama. Angin gunung menerpa wajah mereka, mengibaskan ujung kain yang terikat di pinggang. “Kalau tidak begini, sayur bisa rusak sebelum sampai pasar,” ujar Ni Luh Sari dengan nada ringan, seolah sedang membicarakan hal sepele, padahal nyawa taruhannya.
Di pasar Candikuning, warna-warni sayur menyambut kedatangan mereka. Aroma tanah basah bercampur dengan suara tawar-menawar dan derit timbangan tua. Kol-kol hijau disusun rapi di atas tikar plastik, tangan-tangan mereka tak berhenti bekerja. “Kadang harga turun, kadang naik. Tapi kalau tidak dijual, kami mau makan apa?” kata Made Rusni sambil tertawa kecil, meski matanya menyimpan letih yang tak mudah dihapus.
Di balik senyum dan kesederhanaan itu, tersimpan filosofi hidup yang dalam: bahwa kerja keras bukan sekadar mencari nafkah, tapi bentuk cinta pada bumi dan keluarga. “Kami tidak kaya,” ucap Ni Luh Sari lirih, “tapi kami memberi makan banyak orang. Itu rezeki kami.” Ketika senja turun di lereng Bedugul, kabut kembali menelan kebun dan jalanan. Namun kisah perempuan-perempuan itu tetap menyala seperti bara kecil di tengah dinginnya kabut, menyalakan semangat tentang keteguhan, keberanian, dan cinta yang tumbuh dari tanah sendiri. (Sit)