Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso
Sadar Sekarang, Jangan Menunggu Sia-sia.
Orang Jawa itu terkenal halus, lembut, dan penuh tata krama.
Itu kalau di buku pelajaran.
Dalam kenyataan, sering kali kita justru sibuk menutupi kekacauan hidup dengan senyuman yang dipoles seperti topeng wayang—mengkilap di luar, retak di dalam.
Di grup keluarga, beredar nasihat yang seolah datang dari kahyangan:
“Perbaikilah apa yang tersisa dari hidupmu.”
Sebuah wejangan yang tampak agung, meski biasanya dikirim oleh orang yang hidupnya sendiri masih pontang-panting seperti jemuran kena angin barat.
Orang Jawa suka berkata eling lan waspada. Tapi kenyataannya?
Banyak yang eling hanya saat butuh, dan waspada hanya ketika curiga pada tetangga.
Kita diajari ngugemi ajaran luhur, tapi praktik harian kita lebih sibuk ngugemi notifikasi ponsel.
Kita hafal pepatah alon-alon waton kelakon, tapi begitu lampu merah berubah hijau setengah detik, langsung klakson bersautan seperti gamelan kacau.
Guyub rukun hanya berlaku saat mau foto bareng.
Sisanya? Dikit-dikit baper, dikit-dikit suudzon, dikit-dikit sibuk mencari salah orang lain.
Di tengah riuh rendah itu, kita lupa satu hal paling mendasar:
Helaan napas kita hari ini adalah impian yang tidak sempat diraih oleh mereka yang sudah terkubur lebih dulu.
Mereka sudah tidak punya waktu untuk memperbaiki hidup, sementara kita yang masih diberi bonus usia justru menghabiskannya dengan drama kecil yang kita buat sendiri.
Ironisnya, kalau ada orang dari alam sana diberi kesempatan kedua, mungkin mereka juga akan geleng-geleng kepala melihat kita:
sibuk ribut tentang hal remeh, mempertahankan gengsi yang tidak laku dijual, dan mengumpulkan luka tapi enggan mengobatinya.
Kita ini kadang seperti pewayangan yang hilang lakon—banyak gerak, sedikit arah.
Budaya Jawa mengajarkan mulat sarira hangrasa wani—berani menengok diri sendiri.
Tapi zaman sekarang, yang kita tengok lebih sering “feed” Instagram daripada isi batin.
Kita bangga jadi orang yang “nrimo”, padahal sering kali itu cuma alasan untuk tidak mau berubah.
Kita bilang hidup harus legawa, tapi hati kita seperti anglo tua: bara lama masih kita simpan, padahal sudah bikin sesak.
Padahal, hidup itu sederhana:
swarga nunut, neraka katut—kalau ikut yang benar, ya selamat; kalau ikut yang ngawur, ya silakan tanggung akibatnya.
Namun manusia Jawa modern suka sekali menantang nasib.
Sudah tahu jalannya gelap, masih juga diterobos.
Sudah tahu salah, masih juga mencari pembenarannya.
Lalu ketika kekacauan datang, kita pura-pura terkejut—“Lho kok iso ngene?”—padahal jawabannya sudah lama ada di depan mata.
Karena itu, ajaran untuk “memperbaiki hidup” bukan sekadar petuah.
Di tanah Jawa, itu adalah tamparan halus… yang rasanya pedas.
Semacam peringatan bahwa Gusti memberi napas bukan untuk dihambur-hamburkan.
Tradisi memberi peta, bukan untuk digulung dan disimpan di laci.
Hidup ini seperti kendil pecah: bisa dilem kembali, tapi bekas retaknya tetap terlihat.
Tinggal kita mau memperbaikinya atau membiarkannya bocor perlahan sampai habis tanpa kita sadari.
Dan mungkin, satire paling kejam dari hidup adalah ini:
kita sering merasa punya banyak waktu, padahal waktu cuma singgah sebentar.
Sedangkan mereka yang telah tiada tidak bisa lagi berkata apa-apa—mereka hanya meninggalkan keheningan yang, jika kita mau, bisa kita jadikan cermin.
Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal seberapa halus kita berbicara,
tapi seberapa jujur kita memperbaiki diri.
Sebab kalau tidak, kita hanya akan menjadi cerita pendek di bibir orang—
cerita tentang mereka yang diberi waktu, tetapi menghabisinya untuk hal yang tidak penting.

