LESINDO.COM – Di zaman yang serba cepat ini, manusia modern hidup dalam arus deras informasi yang tak pernah berhenti. Setiap detik layar ponsel menyala, memamerkan wajah-wajah bahagia, tubuh sempurna, rumah mewah, dan kehidupan yang tampak tanpa cela. Semua begitu gemerlap — sampai akhirnya kita lupa bahwa di balik cahaya layar itu, ada bayangan panjang kesepian yang sering tak terlihat.
Kita hidup di masa ketika validasi lebih berharga dari kejujuran diri. Orang tak lagi menanyakan, “Apakah aku bahagia?” melainkan, “Apakah orang lain melihatku bahagia?”
Dan di situlah, perlahan tapi pasti, penyakit mental menemukan jalannya — tumbuh dari perasaan tidak cukup, tidak layak, dan tidak terlihat.
Luka yang Tak Berdarah
Penyakit mental tak selalu menampakkan diri dalam tangisan. Ia bisa tersembunyi di balik senyum, di balik status media sosial yang tampak ceria. Depresi, kecemasan, bipolar, hingga gangguan kepribadian bukan hanya istilah psikologis, melainkan cermin dari jiwa yang kehilangan keseimbangan.
Belum lama ini, seorang mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta dikabarkan mengakhiri hidupnya setelah diduga mengalami gangguan bipolar. Peristiwa itu mengguncang hati banyak orang. Ia seperti tamparan lembut dari kenyataan bahwa kita tak pernah benar-benar tahu apa yang sedang diperjuangkan seseorang di dalam dirinya sendiri.
Di balik prestasi dan keceriaan, ada jiwa-jiwa muda yang diam-diam lelah. Mereka tumbuh dalam dunia yang memuja kecepatan dan pencapaian, tapi jarang memberi ruang untuk jeda dan penerimaan diri.
Dunia yang Membandingkan Segalanya
Media sosial telah mengubah cara kita memandang hidup. Ia bukan lagi tempat berbagi, melainkan arena pembandingan yang tak berkesudahan. Di sana, kebahagiaan orang lain terasa seperti pengingat akan kekurangan kita sendiri.
Kita melihat orang lain liburan, sukses, menikah, membeli rumah — lalu secara tak sadar menilai hidup kita sendiri sebagai kegagalan. Padahal, apa yang tampak di layar hanyalah potongan kecil dari kehidupan yang jauh lebih kompleks.
Ketika hidup dijalani hanya untuk mengejar pengakuan, kita kehilangan arah. Rasa syukur memudar, dan kebahagiaan pun berubah menjadi perlombaan tanpa garis akhir.
Rasa Syukur yang Terlupakan
Mungkin akar dari segala kegelisahan ini adalah sederhana — kita lupa bersyukur.
Kita lupa bahwa tak semua hal harus indah untuk layak disyukuri. Bahwa hidup tak selalu tentang menjadi sempurna, tapi tentang bagaimana menerima diri dengan segala kurang dan lebihnya.
Dalam dunia yang menuntut kita selalu lebih, bersyukur adalah bentuk perlawanan paling sunyi.
Bersyukur berarti berdamai — dengan masa lalu yang tak bisa diubah, dengan kekurangan yang tak bisa ditutupi, dengan kenyataan bahwa kebahagiaan tak selalu berbentuk tawa.
Kembali Menemukan Diri
Penyakit mental bukan sekadar gangguan, tapi juga panggilan — agar manusia kembali menyentuh sisi terdalam dirinya. Ia mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menutup layar, dan menatap dunia nyata yang sering kita abaikan: langit pagi, suara burung, tawa anak kecil, atau wajah orang yang kita sayangi.
Barangkali, di sana letak kesembuhan sejati. Bukan di “like” yang bertambah, bukan di pengakuan yang datang dari luar, tapi di keheningan hati yang berkata:
Aku cukup. Aku masih punya alasan untuk hidup. Aku bersyukur. (mac)

