spot_img
BerandaHumanioraPelajaran Syukur dari Sebuah Tabung Oksigen

Pelajaran Syukur dari Sebuah Tabung Oksigen

Subhanallah... hatiku bergetar. Betapa sering kita lupa bahwa bernapas adalah karunia yang paling sederhana, tapi juga paling berharga. Kita mengeluh atas banyak hal, padahal udara yang kita hirup setiap pagi adalah rezeki yang tak pernah kita bayar. Oksigen diberikan cuma-cuma oleh Tuhan, tanpa harus diminta, tanpa harus dibeli.

LESINDO.COM – Pagi itu, langit Solo masih berwarna abu-abu pucat. Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat sedikit. Seharusnya aku sudah dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Kasih Ibu untuk mengantar kakakku menjalani kemoterapi. Namun, pagi itu tak seperti biasanya—ada kepanikan yang datang tanpa aba-aba. Suami kakakku, yang biasanya setia menemani setiap kali jadwal kemo, tiba-tiba mengeluh sulit bernapas. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan kaki kirinya tampak bengkak. Dalam situasi itu, harus membuat keputusan cepat: dua pasien, satu arah, satu tujuan—mengantarkan  mereka berdua.

Kami bergegas ke rumah sakit. Kakakku menuju ruang kemoterapi, sementara suaminya segera dibawa penanganan ke Unit Gawat Darurat. Dalam hitungan menit, oksigen mulai dipasang, alat-alat medis bekerja, dan suasana ruangan terasa tegang. Tak lama kemudian, ia memandangku dengan tatapan yang membuat dadaku sesak.
Iki piye, dhik… awakku piye… aku ra iso ambegan…” katanya lirih, di sela napas yang makin pendek.

Kepanikan adalah hal yang lumrah dilakukan setiap manusi saat perubahan kondisi yang tiba-tiba di rasakan. (mac)

Tubuhnya mulai basah oleh keringat dingin. Butiran keringat itu menetes seperti embun pagi yang jatuh dari daun-daun. Tangannya dingin, wajahnya kaku, sementara napasnya seperti berebut ruang di dada. Saat itu, aku menyaksikan sendiri bagaimana berkurangnya oksigen dalam tubuh bisa membuat manusia begitu rapuh.

Subhanallah… hatiku bergetar. Betapa sering kita lupa bahwa bernapas adalah karunia yang paling sederhana, tapi juga paling berharga. Kita mengeluh atas banyak hal, padahal udara yang kita hirup setiap pagi adalah rezeki yang tak pernah kita bayar. Oksigen diberikan cuma-cuma oleh Tuhan, tanpa harus diminta, tanpa harus dibeli.

Namun, ketika napas mulai sesak, baru kita sadar betapa mahalnya anugerah itu.
Saat oksigen dicabut, manusia tak lagi berdaya. Tak ada harta, tak ada ilmu, tak ada tenaga yang mampu menukarnya. Hanya alat-alat medis yang bisa membantu, itupun dengan perjuangan, dengan selang dan jarum yang menembus kulit, dengan detik-detik yang menegangkan.

Sekitar satu jam kemudian, oksigen kembali mengalir ke dalam tubuhnya. Napasnya mulai teratur, pikirannya tenang, dan warna wajahnya perlahan kembali. Dalam diam, aku memejamkan mata dan berbisik dalam hati—Ya Allah, betapa sering kami lupa bersyukur atas napas yang Engkau titipkan setiap hari.

Kisah pagi itu mengajarkanku satu hal berharga:
Bahwa untuk bersyukur, kita tak perlu menunggu segalanya dicabut. Tak perlu menunggu tubuh melemah atau sakit menghampiri baru merasa dekat dengan Tuhan.

Bernapas saja sejatinya sudah menjadi tanda kasih-Nya yang paling nyata.
Oksigen — sesuatu yang tak terlihat, namun menjadi bukti hidup masih berlanjut. Ia mengalir dalam diam, hadir tanpa diminta, dan diberikan tanpa batas.

Sekaya apa pun manusia, tak akan mampu membeli oksigen untuk selamanya. Tuhan tidak membuka rekening bagi udara yang kita hirup setiap hari. Ia hanya menitipkan kehidupan, agar kita belajar menjadi hamba yang pandai bersyukur — tidak lebih, tidak kurang. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments