LESINDO.COM – Malam mulai merayap dalam perjalanan dari Surabaya menuju Solo. Rasa letih menyertai langkah, sementara waktu berada di antara Magrib dan Isya—saat yang paling tepat untuk berhenti sejenak, memberi ruang bagi tubuh dan batin: beristirahat, menenangkan diri, sekaligus menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Kuasa.
Pilihan transit pun mengarah ke satu nama yang sudah akrab di benak para pelintas jalur ini: Jalan Cokroaminoto, Madiun. Begitu memasuki kawasan itu, suasana langsung berubah. Jalanan mulai sesak. Deretan warung nasi pecel berdiri rapat nyaris tanpa jeda. Area parkir penuh oleh mobil yang datang silih berganti, pelat luar kota mendominasi.
Musim liburan selalu menjadi penandanya. Di saat-saat seperti ini, nasi pecel Madiun kembali menjelma tujuan—bukan sekadar pengganjal lapar, melainkan persinggahan rasa yang dicari di tengah perjalanan panjang.
Di antara deretan itu, Nasi Pecel Sri Tanjung berdiri sebagai salah satu penanda ingatan kolektif. Pembeli datang dengan satu kesamaan: keyakinan bahwa jika ingin memahami pecel, Madiun adalah alamatnya. Dan jika menyebut pecel, nama Madiun hampir selalu hadir lebih dulu di benak.
Makanan Rakyat dari Tanah Mataraman
Pecel bukan hidangan baru. Dalam bahasa Jawa kuno, kata pecel merujuk pada proses menumbuk—menandai sambal kacang yang menjadi jantung hidangan ini. Sejak ratusan tahun lalu, pecel adalah makanan rakyat jelata: sayuran hasil kebun disiram sambal, mengenyangkan sekaligus menyehatkan.
Madiun, yang berada di wilayah budaya Mataraman, menjadikan pecel sebagai makanan keseharian. Dari dapur rumah ke warung-warung pinggir jalan, resep sambal kacang itu diwariskan, disempurnakan, dan dijaga. Di sinilah pecel menemukan pakem rasanya—cukup kuat untuk dikenali, cukup sederhana untuk diterima siapa saja.
Standar Rasa Bernama Pecel Madiun

Apa yang membuat pecel Madiun menjadi rujukan? Jawabannya ada pada detail.
Sambal kacangnya tidak terlalu halus; tekstur kacang masih terasa di lidah. Aroma daun jeruk purut muncul tegas, segar, dan khas. Sayurannya bukan sekadar pelengkap: kangkung, tauge, bunga turi, kenikir, hingga lamtoro bersatu dalam satu pincuk.
Lauk pendampingnya pun tak bisa ditawar. Lempeng—kerupuk nasi atau puli—dan rempeyek menjadi pasangan setia. Semua disajikan di atas daun pisang yang dilipat rapi. Pincuk bukan hanya tradisi, melainkan cara menambah aroma, menghadirkan rasa yang tak bisa digantikan piring.
Madiun, Ibukota Pecel yang Terbentuk Alami
Kemasyhuran pecel Madiun tidak lahir dari strategi pemasaran modern. Ia tumbuh perlahan, nyaris organik. Sejak masa kolonial, Madiun dikenal sebagai kota perkeretaapian. Stasiun besar dan bengkel kereta menjadi simpul pertemuan orang dari berbagai kota.
Di sanalah para pedagang pecel menjajakan dagangan. Penumpang kereta mencicipi, lalu membawa cerita tentang rasa. Dari mulut ke mulut, dari kota ke kota, pecel Madiun menjelma reputasi.
Generasi berikutnya menjaga konsistensi. Sambal pecel dikemas dalam botol dan plastik, menjadi oleh-oleh wajib. Di berbagai kota besar, tulisan “Nasi Pecel Khas Madiun” terpampang di banyak warung—sebuah penjenamaan kolektif yang mengukuhkan Madiun sebagai standarnya.
Filosofi Sepiring Kesederhanaan
Bagi warga Madiun, pecel bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol hidup sederhana dan kebersamaan. Aneka sayuran yang berbeda disatukan oleh satu siraman sambal kacang—seperti perbedaan yang dirajut menjadi satu rasa.
Di Jalan Cokroaminoto, di tengah antrean panjang dan aroma daun jeruk yang menyeruak, sepiring nasi pecel mengajarkan satu hal: kelezatan sering kali lahir dari kesetiaan pada yang sederhana. Dan Madiun, dengan segala kerendahhatiannya, telah lama memahami itu. (Rai)

